Usai ashar, gulita bertamu di ruang keluarga.
Tak ada jasa listrik yang melanda keyboard
laptopku. Sekejap aku lupa sekumpulan abjad yang macet,
sebab padatnya isi kepala yang obesitas prasangka.
Jaringan ponsel juga telah tiada, bersamaan dengan kucing
yang meliuk manja pada kasur lipat yang tempo dulu dibeli
bapak, dua minggu sebelum aku mendengar berita corona
telah menjangkit dua orang warga Indonesia.
Hingga aku pun meringis di dalam bilik yang punya banyak
pintu. Ke dapur, kamar mandi, kamar tidur, pun menuju
kandang kambing dan ayam yang ibuku beri makan
setiap pagi dan sore hari.
Hmm. Makin padat saja jalanan dalam kepala. Riuhnya
mengundang keringat yang menetes dari pelupuk mata.
Menantang tetes air langit yang kenyang ekspektasi berupa
rahmat, bukan bencana.
Benar saja, orang baik akan dikabulkan doanya. Hujan
sembilan belas Mei menjadi saksi. Seberat apapun kadar
kantuk menuju maghrib, hatiku teguh bersorak
'Tuhan Maha Besar, masalahku bukan apa-apa'.
Trenggalek, 19 Mei 2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H