Di dalam tubuh manusia ada segumpal darah yang kalau dia baik maka baik seluruh tubuh tetapi kalau dia jelek maka jelek seluruh tubuh, segumpal darah itu adalah hatinya manusia. Begitulah lirik sebuah lagu qasidah yang cukup terkenal yang selalu diputar di majelis-majelis taklim di kampungku.
Hati merupakan organ tubuh yang sangat penting yang salah satu fungsinya adalah menawarkan racun mengingat tubuh manusia setiap saat selalu memproduksi racun dari berbagai aktivitas sel dan belum lagi tambahan racun dari luar yang harus dinetralkan.
Jika fungsi hati terganggu maka tubuh manusia akan penuh dengan racun yang bisa sangat menghancurkan dan bahkan mematikan. Itulah mungkin pesan yang ingin disampaikan oleh lagu itu.
Hati yang penuh racun adalah hati yang sudah tidak mampu melakukan tugas detoksifikasi sehingga racun menumpuk di hati tanpa mampu dinetralkannya. Racun yang menumpuk ini kemudian mengalir ke darah dan beredar ke seluruh tubuh.
Secara spiritual, saya umpamakan hati seperti bola kristal indah yang memancarkan cahaya ilahi tetapi sayangnya hati tidak berada di ruang steril debu. Setiap saat akan selalu ada setitik debu dari atmosfer yang menempel di hati yang lama kelamaan akan menebal.
Jika sudah tebal sekali maka hati takkan mampu memantulkan cahaya ilahi lagi. Oleh karena itu hati harus dibersihkan, sayangnya jika kerak debu sudah tebal bandel maka mungkin hati harus direndam dalam "air panas" atau bahkan digosok dengan "ampelas" keras-keras.
Karena itulah hati harus terus dijaga dan dibersihkan dari debu sesering mungkin. Semakin sering dibersihkan maka akan semakin bagus hati. Shalat, zakat, puasa serta berbagai instrumen ibadah lainnya pada dasarnya adalah upaya untuk terus menjaga hati ini.
Esensi puasa sebenarnya adalah membersihkan dan menjaga hati ini walaupun dari segi kesehatan puasa juga bermanfaat untuk membersihkan tubuh dari racun atau detoksifikasi. Akan tetapi puasa yang bagaimanakah yang dapat membersihkan hati? Tentu puasa yang tidak cukup hanya dengan menahan makan dan minum saja.
Akan tetapi puasa yang sudah sampai lebih jauh pada level mental spiritual dengan menjaga agar "debu-debu" tidak terlalu banyak yang menempel di hati. "Debu-debu" itu masuk melewati panca indra manusia seperti lisan (gibah, berbohong, dll), penglihatan, pendengaran, ataupun penciuman.
Lalu jika demikian apakah kita perlu menutup semua panca indra kita selama berpuasa? Tentu saja tidak karena selama kita masih hidup panca indra kita akan terus bekerja setiap saat.
Solusinya bukanlah dengan menutup tetapi dengan mengalihkannya untuk kegiatan-kegiatan positif bernuansa ibadah. Jika panca indra sudah diberikan "makanan" positif maka secara otomatis hati juga akan mendapatkan "gizi" yang baik pula.