Beberapa hari ini tema subsidi energi menjadi headline koran Kompas. Rupanya desakan untuk mencabut subsidi BBM menguat lagi karena harga minyak mentah dunia yang mencapai 105 US Dollar perbarel.
Subsidi BBM memang sangat menyakiti akal sehat. Dari struktur RAPBN 2013 yang dibahas selasa(23/10/2012) kemarin, Subsidi Energi memakan porsi paling besar, 274,7 triliyun. Mengalahkan Belanja Modal(216,1 T), Belanja Barang(167,0 T), dan Belanja Pegawai(241,1 T). Ini jumlah uang yang sangat besar. Bahkan jika nilai itu diakumulasi dari tahun 2009 sampai 2013 bisa mencapai 1000 triliyun.
Kita sudah tidak bisa menyangkal lagi bahwa 70% lebih penikmat subsidi BBM adalah kalangan orang mampu. Tapi 30% dipolitisisasi dengan kemasan "rakyat Indonesia" yang menjadikan seolah-olah 100%. Inilah yang dipakai partai politik untuk mencari muka kepada rakyat dengan menolak kenaikan harga BBM.
Sebenarnya, kalangan cendekiawan sudah menyepakati pencabutan subsidi BBM. Mulai dari ketua Persatuan Insinyur Indonesia(PII) Said Didu, Wakil Menteri ESDM (alm) Prof. Widjajono Partowidagdo, sampai Menteri BUMN Dahlan Iskan sudah sepakat. Semua dosen Teknik Mesin ITB pun juga mengungkapkan hal yang sama di sela-sela kuliah saya. Menurut mereka, 1000 triliyun selama 5 tahun itu jika dikonversi ke pembiayaan pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan penelitian, dampaknya akan sangat besar.
Dalam 5 tahun,
1000 triliyun itu bisa dipakai untuk membangun 1 juta sekolah baru dengan masing-masing sekolah mendapat alokasi 1 miliyar. Itu sudah sangat mewah untuk ukuran sekolah.
Dalam 5 tahun,
1000 triliyun itu bisa dipakai untuk menciptakan 1000 kampus baru. Kalau ini nyata, program wajib belajar 9 tahun bisa langsung naik kelas ke wajib belajar 16 tahun!
Dalam 5 tahun,
1000 triliyun itu bisa dipakai untuk memperpanjang jalan tol yang menghubungkan seluruh kota besar di Jawa dan Sumatra. Betapa majunya infrastruktur transportasi kita.
Dalam 5 tahun,