Ada yang aneh dengan topik kali ini. Ini pertama kali saya menulis tentang dunia modelling. Figur yang diangkat adalah peragawati dunia yang sedang ngetop. Namanya Winnie Harlow.
Semula saya tak tahu siapa dia. Sampai kemudian perhatian saya tersentak, ketika kemaren sore dibahas oleh guru managemen perubahan, Rhenald Kasali, di sebuah toko buku, di bilangan Pondok Indah. Rhenald Kasali menyoroti Winnie sebagai seorang yang membuat disruption. Dia mengukir new normal, membuat kekacauan, atau gangguan terhadap kemapanan yang kadung diyakini masyarakat sebagai keniscayaan yang harus berlaku. “Disruption” adalah judul buku karangan sang guru yang diterbitkan baru-baru ini.
Kini, Winnie Harlow adalah seorang peragawati terkenal. Happening di media sosial dan dicatat sebagai trending topic. Banyak gelar disandangnya, tapi yang paling menyentak adalah direbutnya role model award : “The 2015 Portuguese GQ Men of The Year Event”.
Lantas apa yang aneh? Kalau ada seorang gadis, tinggi, luwes, dan berbakat menjadi seorang model terkenal? Jawabnya, penyakit yang diidapnya. Winnie Harlow penderita vitiligo, penyakit kulit kronis yang menyebabkan sekujur tubuh menjadi belang-belang.
Winnie menderitanya sejak usia 4 tahun. Sejak itu, ejekan dan cemooh teman-temannya menjadi santapan sehari-hari. Tak jarang olok-olok sebagai sapi perah atau zebra didengarnya. Tak heran, Winnie beberapa kali pindah sekolah dan akhirnya putus belajar di usia 16 tahun.
Kulit memutih di bagian-bagian tertentu dan mempunyai batasan yang tajam dengan kulit aslinya. Semakin lebar dan membuat pasien menderita, fisik mau pun psikis. Sulit dibayangkan, Winnie Harlow, perempuan berdarah Jamaica, kulit gelap, dibuat kontras oleh vitiligo. Itu membuat cita-citanya menjadi peragawati semakin jauh untuk dijangkau.
Semua halangan fisik itu hilang, saat Winnie mendapat kesempatan ikut acara “America’s Next Top Model” yang digawangi oleh Tyra Banks. Winnie menjadi 1 diantara 14 finalis, dari puluhan peserta yang mengikuti lomba itu. Winnie seolah keluar dari titik aman yang selama ini membelenggunya. Memecah barrier yang tak tertulis bahwa seorang penderita vitiligo mustahil menjadi peragawati ternama.
Rasa percaya dirinya bangkit, cita-citanya mencuat kembali, kegigihannya mengkristal. Ejekan teman-temannya dilupakannya. Mimpi buruk sebagai zebra, yang sering dia dengar dihapus dari memori otaknya, hingga membangun tekad baja untuk meraih kesuksesan.
Keberhasilan Winnie, si penderita vitiligo, yang sukses menjadi sang peragawati, membuktikan bahwa penghalang kesuksesan bukan variabel yang melekat pada diri kita. Ternyata, hambatan untuk meraih cita-cita muncul dari dalam dan bukan berasal dari luar. Ia berupa kekhawatiran atau ketakutan yang menghantui, sering tanpa alasan yang jelas. Nick Vujicic memberi nasehat yang muncul dari pengalamannya. “ Fear is a bigger disability than having no arms or legs". Kekhawatiran adalah ketakmampuan yang lebih besar dibanding tak punya tangan dan kaki.
Kisah tentang Winnie Harlow menjadi kisah baru yang membuktikan bahwa sukses adalah hak setiap manusia. Tak peduli siapa dan bagaimana dia. Kata kuncinya hanya satu. Jangan membesar-besarkan “kekurangan” - yang sering hanya imijinasi - sebagai benih kekhawatiran yang kemudian meredam tekad kita. Kelemahan harus dibenahi dan dihilangkan, bukan digelembungkan menjadi gunung imitasi yang membatasi kelima indera untuk berkarya.
Winnie dan Nick adalah bukti hidup, alat peraga nyata yang dipakai oleh Tuhan untuk membuktikan bahwa Tuhan Maha Besar, memberi berkat dan karunia untuk semua makhluk ciptaanNya. Hambatan yang muncul, sering kita sendiri yang membuatnya. Masalah, besar atau kecil, tidak bisa menghentikan kita. Orang lain, apalagi. Satu-satunya yang bisa menghalangi anda adalah anda sendiri.