Lihat ke Halaman Asli

Pay For Performance

Diperbarui: 26 Januari 2017   14:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memburu sunset | koleksi pribadi

Ini istilah yang familiar bagi para praktisi Managemen Sumber Daya Manusia.  Sejatinya  kurang lengkap, karena ada 2 prinsip lain yang menyertainya. Biasa disingkat 3P.  Pay for performance, pay for position and pay for person.

Dalam banyak hal, P pertama lebih mendominasi kedua P lainnya.  Ia lebih banyak dibicarakan orang.  Performance atau kinerja dianggap sebagai variabel utama untuk memberi penghargaan   bagi seseorang atau suatu kelompok.  Tidak hanya dalam lingkungan perusahaan, tetapi juga bisa berlaku di organisasi, komunitas, masyarakat lingkup kecil sampai luas, bahkan bangsa.

“Pay” bukan hanya dalam bentuk uang.  Dalam arti luas, ia bisa berupa fasilitas,  benefit, kemudahan kenaikan pangkat, atau kemungkinan menduduki posisi yang lebih baik dalam organisasi atau komunitas.  Reward yang diberikan seharusnya lebih ditentukan oleh prestasi yang diukirnya.   Ini yang disebut sebagai meritokrasi.

Meski dikenalkan dengan nada negatif oleh seorang ahli sosiologi dan politisi dari Inggris, Michael Young (1958), dalam perkembangannya, ia menjadi konsep yang diikuti banyak orang.  Dalam dunia bisnis,  “merit” (diambil dari bahasa Latin, mereo,  yang berarti “I earn”) menjadi kata kunci untuk menapak jenjang karier ke tangga lebih tinggi.  Di masyarakat, pencapaian seseorang membuat dia melangkah menjadi pemimpin yang lebih tinggi lagi.  

Meritokrasi dikenal sebagai sistem yang menempatkan kepandaian, kualifikasi, pendidikan, prestasi dan passion, sebagai syarat mutlak bagi seseorang untuk sukses.  Mereka yang dikenal berprestasi sepantasnya dapat penghargaan sesuai dengan yang telah diraihnya.  Demikian teori yang dikenal, ditujukan agar masyarakat mempunyai tata nilai yang lebih berkelanjutan.

Tidak mudah menerapkan meritokrasi untuk berlaku dalam suatu keadaan atau values tertentu.  Tak jarang diterapkan dengan  dekat, sering juga jauh.  Semakin dekat dan ketat ia dipegang, semakin bertahan  sistem itu untuk hidup.  Semakin ditinggalkan, semakin melenceng dari keberlanjutan.

Ironisnya, kadang-kadang (atau sering), kita - sadar atau tidak - menjauh dari prinsip-prinsip meritokrasi.  Menilai dan memberi penghargaan tidak berdasar pada variabel obyektif.  Reward ditentukan oleh hal subyektif yang bersandar pada kepentingan tertentu, sesaat dan jauh dari akal sehat.  Ia dapat berupa primordial, parokial, favouritism, suka-tak suka, nepotisme atau – yang lebih parah – asal menguntungkan bagi pengambil keputusan.  Keputusan yang menjauh dari meritokrasi, mudah dilihat dan dikritik oleh orang lain, tidak oleh si pembuat kebijakan.  Seperti biasa, kuman di seberang lautan, nampak.

Praktek seperti ini mungkin dapat berhasil jangka pendek, tapi tidak membangun untuk jangka panjang.  Atasan yang mengandalkan rasa suka atau tak suka, kemudian akan memetik kegagalan, karena akan nirkinerja.  Pemilihan yang mengabaikan meritokrasi, sedang membangun istana pasir di tepi pantai.  Produk berkualitas tinggi dihasilkan oleh sistem yang menghargai kinerja.

Begitulah, bila memimpikan negara makmur, rakyat sejahtera dan masyarakat bahagia, bertindaklah adil.  Takzim kepada yang bermanfaat, ganjar yang  berprestasi dan kagumi yang berjasa.  Membangun masyarakat madani biasanya mengikuti ungkapan ini.  “Orang didukung karena lemah, dihormati karena sikap, dihargai karena pencapaian”.

Support people for their weakness, respect for their character and reward for their performance”. (pepatah Latin)  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline