Lihat ke Halaman Asli

Kampung Halaman

Diperbarui: 2 Juli 2016   03:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: kfk.kompas.com

Setiap Lebaran menjelang tiba, kosa-kata itu muncul kembali. Pasangan kata yang manis namun sangat gamblang menjelaskan maksudnya. Meski mungkin dulu tak tinggal di suatu kampung, dengan rumah tak berhalaman, orang tetap menyebutnya “kampung-halaman”. Entah desa, kampung, atau kota tempat seseorang dilahirkan dan atau dibesarkan.

Kampung-halaman tidak hanya desa atau kota secara fisik, tapi melibatkan juga peristiwa dan budaya yang nemplok di sana. Kampung-halaman bisa menjadi nostalgia yang menentramkan hati.

Jalanan, toko, pasar, sekolah, bangunan, dan yang paling menonjol adalah kenangan akan kuliner khas sana. Tak kalah penting, manusia yang hidup di sana menjadi ciri khas kampung-halaman.

Entah mengapa saya cinta Semarang, kampung-halaman saya. Kota di mana saya lahir dan dibesarkan. Di sana ada Simpang Lima, Tugu Muda, Candi atau Gombel. Tak indah-indah amat, tapi jelas tertutup dengan Lumpia Mataram, makanan yang tak tergantikan, meski di Jakarta banyak dijual “Lumpia Semarang”.

Wingko asal Semarang yang katanya berasal dari kota kecil di Jawa Timur, Babat, mengalahkan wingko asli dari sana. Sementara Bandeng Presto dari kota Juana, diambil alih Semarang karena rasanya jauh lebih enak. Tapi, bolang-baling tetap impian, karena gurih dan manis plus harganya terjangkau.

Masih banyak lagi makanan, seolah lambaian tangan, mengundang para alumnus penduduk kota untuk kembali ke sana. Itu yang menyebabkan orang menjadi homesick, kangen pulang kampung.

Kampung halaman bukan hanya Semarang. Bandung dirindukan karena punya kawasan Dago, Cihampelas dan jalan Aceh. Surabaya terkenal dengan Tunjungan dan Jembatan Merah, Yogyakarta bangga dengan Malioboro, Solo hidup 24 jam karena Sriwedari dan Taman Balekambang, sementara kalau ke Makasar jangan lupa mampir ke Pantai Losari dan ke Medan berkunjung ke Istana Maimun.

Kampung-halaman adalah subyektif. Ia dipengaruhi oleh banyak hal yang konotasinya masa lalu. Itulah mengapa kampung-halaman selalu dikaitkan dengan aktivitas mengenang. Memikir ulang apa yang dulu pernah dialami, mengungkit kembali dan berusaha meniru agar yang kisah dulu terulang lagi.

Meski aktivitas itu selalu gagal, namun keinginan untuk mencoba selalu menimbulkan excitement yang menyenangkan. Teman lama dikumpulkan, makanan masa lalu dicoba dan tempat zaman dulu dikunjungi lagi. Meski sudah tahu bakal gagal untuk memutar film jadul, nostalgia kampung-halaman selalu diulang dan diulang. Lumayan, meski tidak persis sama, bisa mengobati kerinduan masa lalu yang sudah ditinggalkan bertahun-tahun lampau.

Tak heran kalau menjelang Lebaran orang berbondong-bondong mudik. Istilah mudik memang unik. Entah kosa kata dari mana, tetapi sekarang sudah menjadi bahasa Indonesia resmi yang dipakai di mana-mana. Keistimewaan kampung-halaman yang melahirkan mudik.

Orang berbondong-bondong pulang ke kampung-halaman, karena mengenang masa lalu adalah keasyikan tersendiri. Mengunjungi tempat lama membangkitkan emosi, mengunyah makanan masa kecil enaknya setengah mati, dan bercanda dengan teman lama menyenangkan hati. Dan mudik bukan hanya fenomena lokal, tetapi menjangkiti juga tempat-tempat di luar sana.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline