Teman saya marah-marah di telpon, di tengah rapat. Kami tak tahu kepada siapa dia bicara. “Jangan menggangu saya. Saya sedang rapat penting”. Begitu kira-kira sang teman setengah berteriak. Kami menduga apa yang sedang terjadi, dan tersenyum kecut melihatnya.
Kejengkelan yang sama juga sering saya alami. Juga dirasakan oleh banyak teman lain. Waktu dan privacy terganggu oleh deringan atau getaran gadget yang tak diharapkan. Lebih-lebih kalau sedang terikat acara lain yang penting dan mendesak. Sumpah serapah dan teriakan atau paling tidak gerutuan dalam hati, otomatis keluar dalam keadaan terdesak seperti itu. Saya maklum, kalau itu membuat rasa tak nyaman dan terganggu.
Telpon tak dikenal dan tak diharap semakin sering diterima orang, akhir-akhir ini. Bermacam kata diucapkannya. Mereka menjual sesuatu. Telpon tak dikenal berasal dari mereka yang sedang berjualan. Jualan apa saja. Mereka disebut sebagai penjual atau salesman.
Yang paling sering terdengar adalah jualan produk perbankan. Kartu kredit, tawaran menjadi nasabah, tabungan atau pinjam uang. Tapi banyak juga yang menawarkan property, mobil, hotel, pakaian bahkan ada yang menjual makanan dan minuman. Saya pernah menerima telpon dari “suara halus” di ujung sana. Dia menawarkan fruit salad, yang katanya paling enak dan paling murah se dunia. Puji Tuhan, saya bersyukur bisa merasakan salad buah yang enak luarbiasa.
Semula saya jengkel melayani telpon atau text seperti itu. Lama-lama, saya mulai belajar memahami mereka. Itu adalah profesi. Pekerjaan yang harus dijalankan untuk memenuhi tugas, menjual sesuatu. Saya mulai menempatkan diri bagaimana kalau menjadi mereka. Mereka harus melakukan courtesy call dengan jumlah tertentu, setiap hari, agar KPI nya tercapai. Jangan dikira semua penjual dengan senang hati menjalankan “tugas” itu.
Saya mencoba alas-kaki mereka dan memasukkan di kaki saya. Tidak pas, tetapi saya terus coba untuk merasakan dengan hati yang lapang. Sempit, tapi saya berusaha untuk merasakan seperti memakai sepatu yang lapang. Saya menduga bahwa mereka juga tak nyaman, “mengganggu” seseorang yang belum dikenalnya, dengan celotehan di ujung telpon yang kurang sreg dengan kebiasaan mereka. Sekali lagi, tugas memanggil, kewajiban menunggu, angka-angka memacu, untuk “maju terus pantang mundur”. Apa boleh buat.
Itu yang disebut sebagai salesmanship, kemampuan seseorang untuk menjual sesuatu. Beberapa ungkapan mengatakan bahwa salesmanship adalah perpaduan antara kemampuan, kompetensi, pengalaman, usaha dan seni (art).
Manifestasi seni bagi seseorang, lebih separuhnya didasarkan pada bakat. Teori lain mengatakan bahwa bakat adalah sesuatu yang embedded di dalam dirinya. Pendapat lainnya mengatakan itu suatu “pemberian”, yang susah ditelisik asal-usulnya. Mungkin ini hanya salah satu cara untuk menyederhanakan dan memperpendek bagaimana “bakat” bisa diterangkan secara ilmiah. Terima saja, telan saja, jangan banyak tanya. Dia mempunyai sesuatu “kelebihan” yang tak dimiliki orang lain. Itu saja.
Pendapat lain tentang perpaduan beberapa variabel yang kemudian melahirkan pencapaian dari seseorang, saya dengar bulan lalu. Teguh Ostenrik, seorang pematung dan pelukis kondang asal Semarang, yang berkelas dunia, mengatakan bahwa faktor bakat makin kecil perannya. Kerja keras (yang dimaksud adalah “usaha”) dan pengalaman, lebih dominan mewarnai hasil karya seseorang.
Baiklah, saya tarik kesimpulan sementara. Di era moderen ini, bakat mempengaruhi prestasi seseorang, dengan porsi yang semakin mengecil. Usaha dan pengalaman, menyita porsi lebih banyak.
Salesmanship pun idem dito. Salesman (lebih tepat, salesperson) harus dilengkapi dengan pemahaman yang komplet mengenai seluk-beluk “menjual”. Lebih-lebih bila faktor pengalaman dan bakat besarnya hampir sama dengan nol.