Lihat ke Halaman Asli

Jenaka

Diperbarui: 22 Januari 2016   01:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Orang Indonesia mempunyai sense of humor yang tinggi, di atas rata-rata bangsa-bangsa lain. Kehidupannya kaya akan jokes atau guyonan.  Memandang masalah sering dengan sudut yang menggelitik syaraf tawa.

Humor tidak hanya keluar sebagai perilaku, tetapi sudah menjadi sikap, bahkan budaya.   Sehari-hari hidup dalam kebersamaan yang guyub dengan canda sebagai interes bersama.

Folklore  dari banyak daerah kental dengan komedi.  Punakawan atau abdi dalem menjadi tokoh sentral untuk mencairkan suasana, sementara sang tokoh utama membawa pembicaraan ke arah yang lebih ringan dan santai. Meski baru hipotesa, data kualitatif bisa membantu memahami pendapat ini.

Khotbah pemimpin agama yang rileks disukai umat.  Pemimpin agama yang humoris ditunggu di mana-mana.  Agendanya padat dan harus dipesan paling tidak 1 tahun sebelumnya, untuk bicara di suatu perhelatan. Guru di kelas menjadi favorit karena suka melucu dan membuat murid tidak mengantuk.  Acara TV dimonopoli lawak yang menggenggam rating tinggi, sementara standup comedy laris manis  di prime time, karena segar dan menghibur.

Di Cirebon ada kesenian Tarling.  Singkatan dari Gitar dan Suling.  Meski berisi nyanyian beralur cerita, yang berwarna humor lebih disukai penonton.  Jawa Timur punya Ludruk.  Calung populer di Tanah Pasundan. Jawa Tengah dan Yogyakarta dengan Dagelan Mataram, Ketoprak dan Goro-goro di pertunjukan Wayang Orang atau Kulit.  Srimulat pernah menjadi tontonan nasional karena bertahan manggung tiap malam di 4 kota besar, selama beberapa tahun.  Betawi identik dengan Lenong dan Topeng.  Sementara  orang Riau menyukai lawakan  di panggung Makyong  atau Mendu.  Daerah-daerah lain juga mengenal kesenian tradisional dengan pola dan jiwa serupa; cair, rileks, santai, yang melahirkan gerr…

Puncak dari cerita di atas bisa disaksikan di drama teror peledakan bom dan baku tembak di Jalan M.H. Thamrin, minggu lalu.

Sesaat setelah bom meledak di Starbuck, teman-teman di kantor langsung menyimak berita dari media sosial.  Mereka terdiam.  Duduk termenung, masing-masing dengan gadget atau lap-topnya.  Mata terbelalak dengan raut wajah yang tegang.  Kata-kata hanya keluar satu-satu, semuanya berkisah tentang bagaimana teroris sedang beraksi di sana.  Suasana mencekam.  Tapi itu tak lama.

Selang  1-2 jam kemudian, sensasi mulai bermain di arena.  Ketegangan menipis.  Ketakutan memudar.  Diganti sendau-gurau yang lebih segar. 

“Tanah Abang dan Blok M dipenuhi masa.  Jangan pergi ke sana……… Nanti terjebak macet”.  Begitu humor pertama yang terdengar.  Situasi mencair.   Kemudian, suasana diwarnai ajang canda.   Tidak hanya yang jauh. Bahkan di TKP pun, yang bau mesiu masih menyengat, humor muncul di sana-sini.

Foto pertama yang beredar adalah gambar tukang sate yang asyik mengipasi dagangannya, sementara di latar belakang adu pistol macam koboi Janggo terlihat samar-samar.  Asap bom masih terlihat di latar belakang.

Sulit menentukan apakah itu konyol atau komedi.  Tapi banyak pengguna media sosial menganggapnya sebagai adegan jenaka.  “EGP……”, pikir tukang sate dengan nada cu’ek. The show must go on.  Dagangan harus laku dan untung harus diraih.  Satu-satunya pilihan adalah arang harus tetap menyala, untung  tetap diraih.  Biarkan saja mereka tembak-menembak di sana.  Pembeli kudapan terus menunggu di sekitar situ.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline