Lihat ke Halaman Asli

Sepak Bola

Diperbarui: 23 Oktober 2015   10:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Minggu sore, 18 Oktober 2015, Jakarta heboh lagi. Kali ini yang menguncang adalah pertandingan final sepak bola Piala Presiden 2015. Kesebelasan Persib-Bandung dan Sriwijaya FC masuk final. Setelah absen sekian bulan, pertandingan sepak bola kelas nasional menjadi exciting untuk ditonton. Seru, karena dilakukan di tengah prahara sepak bola Indonesia.  

Lantas apa istimewanya pertandingan itu? Mengapa heboh?. Bukankah puluhan atau ratusan atau ribuan pertandingan sepak bola kelas nasional atau dunia pernah digelar di GBK?

Sepak bola itu sendiri sih mungkin biasa-biasa saja. Adu strategi, skil, stamina, teknik, pengalaman, dan keberuntungan. Mungkin perlu ditambah satu lagi, dukungan penonton. Suporter sering menjadi kata kunci untuk memenangkan sebuah pertandingan besar dan kritis seperti ini.  Itu pun, juga tak istimewa. Meski berbeda jumlah, kedua suporter menampilkan euphoria yang sama-sama menggelora. Jadi, anehnya di mana?

Rusuh lahir bukan karena pertandingan itu sendiri. Bukan karena pemain kedua kesebelasan saling baku hantam.   Bukan karena penonton dari dua daerah tawuran di tengah gelanggang.   Cerita yang bernada tradisi bisa menjelaskan hal ini.

Persib-Bandung sudah lama menjadi musuh bebuyutan Persija-Jakarta.   Bobotoh dan Jak Mania bukan hanya bertempur bila bertemu, tapi saat berjauhan pun saling melempar serangan dan kutukan. Peuyem lawan empek-empek, tapi kerak telor bisa menjadi pemicu ledakan. Tak peduli siapa lawannya, Peuyem dan pendukungnya harus dilawan dan diserang, perang tanding tak terelakkan.

Pertandingan digelar di Jakarta, tempat Jak Mania bermarkas, dan Bobotoh berduyun-duyun mendatangi markas mereka, untuk mendukung jagonya. Ingatan masa lalu berputar kembali. Sering Persib menjadi tuan rumah, saat Persija harus tanding, dan Jak Mania menjadi bulan-bulanan di “Jalak Harupat Soreang Stadium”. Bukan pula kisah pertama, bila Bobotoh diancam di Jakarta. Kini saatnya balas dendam berputar kembali dengan tumpukan rasa benci yang mengharu-biru. Lagu lama berputar kembali. Terus diputar, didengarkan, bahkan sering tambah keras nadanya.

Pertanyaannya adalah, mengapa sepak bola di Indonesia sering dihubungan dengan perkelahian, dikaitkan dengan tawuran, diasosiasikan dengan kekerasan. Mengapa 30.000 polisi dan tentara harus disiapkan untuk menjaga permainan yang berlangsung hanya 2 x 45 menit, di area hanya 100 x 100 meter.   Begitu sulitkah rule of the game ditegakkan, di waktu sesingkat itu, di lapangan sesempit itu, hingga pasukan tempur harus berjaga di level siaga 1?

Sulit menjawab pertanyaan di atas. Mungkin karena telah terjadi pemisahan yang tegas dan jelas antara menonton dan mendukung tim sepak bola dengan spirit bermain sepak bola. Keduanya dilihat sebagai sesuatu yang tak saling bergantungan, tak saling berhubungan dan tak saling mempengaruhi. Main sepak bola adalah satu hal, mendukung tim bermain sepak bola adalah hal lain lagi. Padahal, sepak bola – atau olahraga pada umumnya – adalah aktivitas yang dimainkan untuk mendapatkan tubuh yang sehat. Di dalam tubuh yang sehat, tercipta jiwa yang sehat. “Mens sana in corpore sano”. Jadi, seharusnya sepak bola menyehatkan jiwa dan raga. Sehat badan mudah dicerna, sehat jiwa mengikutinya. Jelas tidak ada sangut pautnya dengan tawuran, karena perkelahian atau pertempuran antar suporter jelas merusak jiwa dan raga yang sehat. Dus, ada yang tak nyambung di antara keduanya.

Ketika 2 hal itu dipisahkan ikatannya, maka ruh bermain sepak bola - yaitu spotivitas - tak dihiraukan lagi. Meninggalkan sportivitas bahkan sudah merasuk ke dalam kehidupan bermasyarakat lainnya. Perilaku sportif untuk berpolitik, berinteraksi sosial, menimba pendidikan, bertransaksi ekonomi, mementaskan seni, bahkan sampai-sampai ke ranah keberagamaan, sudah mulai menipis. Sportif menjadi sesuatu yang semakin langka, yang sudah terbang entah ke mana.

Kalah pilkada, marah dan mengadu ke MK. Menjadi tersangka, melawan dan menuntut pra peradilan. Divonis MA, lewat pintu samping dan PK. Kalah tender, bikin protes untuk lelang ulang. Bakar hutan, agar lebih mudah bikin kebun. Tak lulus ujian, demo minta diloloskan. Bajak-membajak di dunia seni-budaya, menjadi kebiasaan sehari-hari. Semua infra struktur dan bahkan supra struktur seolah-olah disiapkan untuk memfasilitasi sikap tidak sportif agar berkembang di masyarakat. Maka Bobotoh versus Jak Mania menjadi contoh kecil belaka.

Orang Jawa mengenal istilah “tepa slira” (dibaca : tepo sliro). Bahasa Indonesia menyebutnya “tenggang rasa”. Mencoba memahami perasaan dan apa yang dialami orang lain. Mungkin ini yang disebut empati, toleransi dan pada akhirnya akan lahir sinergi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline