Lihat ke Halaman Asli

Serpico

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1350609122642436403

Serpico adalah seorang penegak hukum.  Menjadi simbol anti-kompromi bagi mereka yang melanggarnya.  Nama lengkapnya Francesco Vincent Serpico, biasa dipanggil Paco atau Serpico saja.  Lahir di kawasan hitam, Brooklyn, New York, Amerika,  1936.  Idealisme menuntunnya menjadi seorang polisi di New York City Police Department (NYPD). Sebelumnya, dia berdinas di Angkatan Darat Amerika  dan sempat ikut perang Korea, selama 2 tahun. Serpico menjadi legenda polisi dunia setelah Al Pacino, bintang film ganteng dan berwatak, memainkannya dalam film berjudul namanya, "Serpico", di tahun 1973.  Film yang diambil dari kisah nyata hidupnya kutipan novel best seller karangan Peter Maas.  Itulah setidaknya cerita yang saya ingat, setelah nonton di gedung tua, bioskop Panti Karya, Bandung, sekitar 1975-an. Serpico seorang polisi biasa.  Pangkatnya tidak tinggi.  Bukan seorang jenderal atau kolonel.  Dia seorang polisi-detektif sederhana.  Tapi, dia mempunyai predikat istimewa yang jarang dimiliki polisi di dunia, termasuk Indonesia.  Kisah seorang polisi jujur, lurus, selalu ikut aturan, anti suap dan konsisten menumpas kejahatan. Itu menjadi heboh ketika kejahatan dilakukan teman-temannya, sesama anggota korps kepolisian, dan dia berusaha menumpasnya.  Dari situ cerita mengenai dirinya menjadi kontroversial. Tokoh yang semasa kecil pernah memimpin gang anak nakal di kotanya itu, dinyatakan sebagai lulusan terbaik angkatannya dari  Akademi Kepolisian.  Tak heran, kariernya melesat sampai akhirnya dia kena batunya. Dia mulai menyadari bahwa pelbagai kejahatan terjadi di lingkungan kawan-kawannya.  Pemeras, Pemalak, pelindung judi, penyalur narkoba, suap dan korupsi.  Penyakit kronis yang sulit  dicari akar sebab-musababnya.  Dia mulai dijauhi teman-temannya, bahkan kemudian dibencinya.  Dia mulai muak dan lama-lama melawannya.  Ketika  skandal suap besar di tubuh kepolisian diungkap, hanya Serpico satu-satunya anggota "Komisi Knapp", yang berani bersaksi di depan dewan-etika untuk membuka aib mereka. Serpico akhirnya ditembak teman-temannya melalui pembunuh bayaran, ketika menggrebek bandar besar narkotik di kotanya.  Untung dia tidak mati.  Kakinya cacat.  Dia mengundurkan diri dari dinas kepolisian.  Dia madeg pandita, menetap di Swiss, sambil menggenggam "The Medal of Honor", penghargaan tertinggi bagi anggota kepolisian Amerika yang berjasa bagi penegakan hukum. Kisah Serpico berputar kembali di kepala saya, saat hingar-bingar Polisi versus KPK terjadi beberapa minggu lalu.  Menarik, karena Serpico seolah lahir kembali di Kepolisian Republik Indonesia.  Dia bernama Novel Baswedan.  Pangkatnya rendah.  Polisi Baswedan "hanya" seorang Komisaris, yang untungnya ditugaskan sebagai penyidik KPK.  Lembaga anti korupsi yang menjadi satu-satunya andalan pembasmi koruptor di Indonesia.  Bedanya, "Serpico Indonesia" harus menyelidiki kejahatan para jenderal di institusi tempat dia berasal. Baru berusia 36 tahun, Novel sering bertugas memburu kasus-kasus kakap.  Track record yang dimilikinya mencengangkan.  Hampir semua penyelidikan kasus yang menyita halaman depan surat-kabar, "didalangi" Komisaris Novel.  Tapi, sama dengan apa yang dialami Serpico, Novel kali ini kena batunya.  Karena dianggap sebagai anak durhaka, Novel kena fire back.  Sebuah skenario janggal dibuat untuk menjebak dia.  Masih untung, karena masyarakat turun tangan mencegahnya.  Untuk sementara, Novel bebas dari perangkap itu.  Dia meneruskan tugasnya sebagai hamba wet, yang kali ini harus menghadapi atasan-atasan dan teman-temannya. Timbul pertanyaan, mengapa terjadi pola yang mirip dari kedua kisah polisi di atas.  Serpico di New York, Amerika dan Novel Baswedan di Jakarta, Indonesia.  Seorang teman yang lama bermukim Amerika bercerita bahwa  di kalangan polisi sana, ada semacam "kode etik" yang tidak tertulis, tetapi mengikat mereka dengan erat.  Ia disebut "Blue Code of Silence", atau sering disebut "Blue Shield" atau "Blue Curtain".   Sebagai anggota polisi, dia tidak boleh membuka aib atau kesalahan atau kejahatan anggota polisi lainnya.  Apalagi atasannya. Meskipun kode ini sering dianggap sebagai kesesatan yang diyakini membawa kemudaratan institusi polisi,  tak disangkal ia masih ditaati oleh mayoritas anggota polisi lainnya.  Benar atau salah,  setuju atau tidak, nyatanya paham itu masih di sana.     "Blue Shield" menyebar ke seluruh dunia,  termasuk  Indonesia.  Itu nampaknya yang membuat Komisaris Novel harus dianggap "anak yang tak tahu diri" oleh mereka.  Novel harus dibungkam, dihukum, dihentikan "tingkah-polah"-nya yang membasmi kejahatan di almamaternya. Serpico dan Novel di satu sisi, melawan komunitas polisi yang corrupt di sisi lain, biasa dinamai "good cop and bad cop".  Ada polisi baik, ada pula yang jahat.  Istilah ini bahkan kemudian diartikan melebar dalam kasus-kasus di luar kepolisian.  Bisa di perusahaan, lembaga sosial, pemerintahan, perusahaan swasta, organisasi nirlaba, bahkan keluarga.  Ibu sering ditandai menjalankan fungsi "good cop", sementara ayah menjadi "bad cop". Paradigma bergeser.  "Polisi baik" tidak benar-benar berfungsi positif, sementara "polisi jahat" tidak selalu negatif.  "Baik-buruk" ditandai selalu ada dalam setiap nafas kehidupan manusia. Begitu pula di institusi kepolisian.  Masyarakat Amerika sering merasa terhibur, menyadari masih ada polisi yang berperilaku mulia seperti Detektif Serpico.  Indonesia bangga  mempunyai Komisaris Baswedan.  Mereka menggenggam lentera di lorong gelap, di ujung sebelah sana.  Orang yang berada di tengah kegelapan, masih bisa melihat lentera yang mungkin nyalanya hanya berkelip-kelip, tetapi toh tetap ada cahaya. Seorang agen polisi lainnya, Ashia Perry, kali ini di kota Philadelphia menjadi lentera lainnya bagi masyarakat Amerika.  Suatu saat, dia ditugaskan menjenguk seorang nenek tua,  77 tahun, Margaret Taylor, yang dikabarkan tidak dapat dihubungi selama 3 hari.  Ternyata, Perry mendapati sang nenek telah meninggal dunia.  Setelah mengirim jenazah ke rumah sakit terdekat, dia menjumpai setumpuk kartu natal, yang telah dibubuhi alamat, tapi belum sempat dikirim.  Kartu-kartu itu berserakan di atas meja.  Nampaknya,  sang nenek keburu sakit dan meninggal dunia sebelum  dibawa ke kotak pos. Perry tak tinggal diam.  Dibelinya perangko secukupnya, ditempel di amplop  dan dikirim melalui kantor pos terdekat.  Tak lupa Perry membubuhkan catatan tentang bagaimana kartu-kartu tadi bisa sampai ke tangan penerima.  Penduduk Philadelphia  memujanya.  Mereka seakan mendapatkan setitik air dingin di tengah padang pasir kering kerontang.  Serpico, Novel dan Ashia Perry menjadi lentera, bagi masyarakat pengguna jasa polisi. Tidak di Indonesia, tidak di Amerika.  Tak pandang bulu, polisi atau profesi apa saja, selalu mengikuti adegium yang dilontarkan oleh seorang politisi Inggris, John Dalberg Acton (1834-1902).  "Power tends to corrupt.  Absolute power corrupts absolutely".  Lord Acton menambahkan bila masyarakat tidak menginginkan adanya korupsi di suatu institusi, jangan memberi kekuasaan mutlak kepada mereka.  Jangan memberi blank cheque untuk diisi sesuka mereka yang menerimanya.  Selalu lakukan kontrol sistemik yang memadai.  Buat independent party yang melakukan check and balance, sehingga ia tidak menggenggam absolute power.  Maka Blue Code of Silence menjadi tidak laku lagi. Di akhir kariernya, Serpico sempat menulis testimoni bagi teman-temannya di NYPD.  Ini diucapkan sebagai salah satu anggota   dewan kehormatan independen yang dibentuk khusus untuk membongkar kejahatan, sekaligus memberi rekomendasi langkah perbaikan untuk  NYPD. "Police corruption cannot exist unless it is at least tolerated at higher levels in the department.  Therefore, the most important result that can come from these commission is a conviction by police officer that the department will change. In order to ensure this, an independent, permanent investigative body dealing with police corruption, like this commission, is essential". "Mister  Serpico, this has just recently happened in our beloved  Indonesia.  Fiat Justitia Ruat Caelum*/". */ Fiat Justitia Ruat Caelum = Hukum harus ditegakkan walau langit akan runtuh.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline