Lihat ke Halaman Asli

Karna

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Terompet  dengan lagu sendu ditiup bertalu-talu. Suaranya menggema sampai lorong-lorong kerajaan.  Menyayat hati siapa pun yang mendengarnya.  Airmata menetes dimana-mana.  Pakaian kerajaan ditutup selendang hitam, tanda berkabung.  Rakyat Kurawa, rakyat Pandawa, pembesar-pembesar istana kedua negara, bahkan kedua Raja menundukkan kepala.  Tanda belasungkawa.

Mengapa kematian menjadi tangis di pihak Pandawa mau pun Kurawa?  Mengapa lagu duka dinyanyikan bersama-sama?  Bagaimana kesedihan dua negara yang sedang beradu senjata lantas  berpadu dalam satu sukma?  Siapa gerangan yang gugur di medan laga Bratayuda Jayabinangun?  Sang pahlawan bernama Karna, Adipati Karna.

Jabatan formalnya adalah panglima perang Kurawa.  Senopati  yang memimpin adu-laga ini adalah seorang ksatria yang digdaya, gagah perkasa, tak mengenal kata mundur dari medan Kurusetra.  Sang Senopati maju terus, bagai “banteng ketaton”, ketika menjadi pimpinan tentara Kurawa.

Padahal dia saudara kandung Pandawa.  Karna adalah kakak tertua dari 5 saudara yang saat itu sedang berjuang dalam laga hidup atau mati.

Kunti adalah ibu mereka.  Tetapi Karna lahir dari kuasa Batara Surya, dewa penguasa matahari.  Hanya dengan sabda sang dewa, Kunti mengandung.  Ini berkat keampuhan azimat “Adityahredaya” yang dimiliki Dewi Kunti.  Ia dapat menghubungkan si pemegang aji-aji dengan semua dewa, bahkan sampai ke hubungan badan.

Menyadari dirinya mengandung,  Kunti sedih dan memohon kepada sang dewa Surya agar hubungan dibatalkan.  Tetapi itu mustahil dilakukan.  Sabda pandita ratu harus menjadi kenyataan.  Putera sang dewa harus lahir ke dunia, menjadi ksatria pembawa misi kahyangan.  Tetapi Kunti ingin agar dirinya tetap perawan.

Sang dewa melakukan rekayasa.  Caranya?  Jabang bayi dilahirkan melalui telinga sang ibu.  Makanya dia dinamai Karna, artinya “telinga”.   Karna makin dewasa dan menjadi ksatria.

Karena selisih paham yang tak terselesaikan, Karna memihak Kurawa.  Bahkan karena kesaktian dan senjata ampuhnya, “Kunta”, dia menjadi senopati Kurawa. Akhirnya dia harus tewas di tangan sang penengah Pandawa, Raden Arjuna, adiknya sendiri.

Karna menjadi istimewa, karena dia manusia biasa, tetapi lahir bukan melalui “jalan biasa”.  Ia lahir  dari telinga.  Kelahiran menjadi tanda yang tidak biasa.  Kelahiran menjadi suatu lompatan kehidupan, dari sesuatu “yang tiada” menjadi “yang ada”.  Suatu mukjizat  yang berada di luar jangkauan akal manusia.  Kelahiran, bagi Karna menjadi semakin istimewa, karena keluar dari salah satu alat panca indera.  Karna adalah manusia istimewa.

“Kelahiran” menjadi peristiwa yang luar biasa. Banyak kisah manusia yang istimewa karena kelahiran yang “tidak biasa-biasa”.  Ada cerita nyata, ada lakon carangan.    Salah satunya kisah mengenai “kelahiran” Mr.  Bean.

Nama yang menjadi tokoh film terkenal ini, tiba-tiba jatuh dari langit.  Dia diiringi suara koor yang melagukan Ecce Homo Qui Est Faba (Lihatlah Orang yang Seperti Kacang).  Tidak melalui bayi dan remaja, Mr. Bean mendadak sontak menjadi manusia dewasa.  Tingkah-polahnya brilian, out of the box, dan jenaka.  Mr. Bean selalu sukses dalam mengelabui penonton.  Dia manusia luar biasa, karena lahir secara “tidak biasa”.

Meski para penonton sadar bahwa cerita  Mr. Bean fiktif belaka, tetapi mereka tetap terhibur.  Penonton bersorak-sorai dan bertepuk tangan, mengiringi keanehan, kejelian dan kepandaian Mr. Bean.  Tentunya tak bisa lama.  Episode Mr Bean    berakhir tahun 1995, ketika ia baru berusia 5 tahun.

Kalau saya ditanya, pengalaman hidup mana yang paling menakjubkan, paling mencengangkan, paling membahagiakan,  dalam hidup saya,  jawabnya adalah : “Ketika menyaksikan   kelahiran kedua anak saya”.  Seakan tak percaya pada pandangan mata, ketika melihat ketuban muncrat dari dalam gua garba.

Belum berakhir, ketika kepala sang jabang bayi keluar perlahan-lahan, diikuti tangisan melengking dengan selimut darah dan air yang belum pernah saya saksikan di luar sana.  Kehidupan menjadi “ada”, dari “tiada”.  Nafas manusia ditiup Malaekat surga yang diutus Sang Maha Kuasa. Menghidupkan jabang bayi dengan udara di mayapada.  Ini adalah kisah surga.  Ini adalah skenario di atas manusia.  Ini adalah Sang Ajaib, apa pun nama yang dikenakan kepadaNya.  “Jadilah padaku menurut kehendakMu”.  Itulah puncak kebahagiaan manusia. Saya pernah 2 kali menjadi saksi bagi kehidupan yang tiba-tiba  menjadi “ada”.

Ada kisah kelahiran istimewa yang terus dirayakan sampai usia lebih dari 2000 tahun.   Ini adalah kisah iman.  Tokohnya adalah Raja yang lahir dengan sangat sederhana.  Manusia percaya bahwa Dia lahir tanpa  bapa, “hanya” melalui Bunda Maria (Mariam).  Dia lahir tidak membawa apa-apa.  Tidak memakai mahkota.  Tidak menggenggam kuasa.  Tidak duduk di singgasana.  Dia hanya hadir dengan kasih kepada manusia sehabis-habisnya.  Itulah kelahiran Agung yang menjelma menjadi kasih bagi seluruh umat manusia.  “Sang Sabda telah menjadi manusia dan tinggal diantara kita”.

Kelahiran Isa AS atau Yesus Kristus terus diperingati setiap tahun.  Itu menjadi pratanda bahwa Kasih Tuhan mengalir menjembatani Surga dan dunia. Ia harus diteruskan kepada seluruh manusia.  Tanpa itu, manusia tak berguna.

Pohon cemara ditebangi.  Lampu kerlap-kerlip dipajang di seluruh penjuru kota.  Hiasan warna-warni menghias rumah warga. Lagu-lagu manis tentang Dia didendangkan di mana-mana. Apakah bukan pemborosan?   Merusak lingkungan?  Menghabiskan energi?  Semuanya sia-sia, bila tidak menjadi pengingat bagi manusia bahwa Kasih Tuhan yang tak terbatas harus menjadi nafas seluruh umat manusia.

Menjadi relevan untuk selalu dikumandangkan, seperti yang juga dilakukan Presiden negara merdeka Palestina, Mahmoud Abbas. Dalam pesan Natalnya tahun 2012, kepada seluruh umat Kristiani di seluruh dunia, yang dipublikasi melalui melalui Palestine News Network (PNN),  Mahmoud Abbas menekankan keadilan dan damai yang harus selalu diperjuangkan oleh seluruh umat manusia.  Tuan Presiden menutup pesannya dengan harapan : “Agar Natal di masa depan, negara Palestina mendapat pesan cinta-kasih, keadilan, perdamaian dan kemanusian seperti yang dibawa Pangeran Perdamaian di Palestina, 2000 tahun lalu.  Semoga ini bukan hanya harapan melainkan harus menjadi kenyataan”.  For next Christmas, Palestine wish to experience the timeless message of Love, Justice, and Peace that the Prince of Peace brought to Palestine and humanity more than 2000 years ago, not just hope for its realization.

“Selamat Natal 2012 -  Damai di bumi, damai di hati”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline