Lihat ke Halaman Asli

Mbilung: Urip iku Urup

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1353215537206849562

Anda mungkin tidak kenal dengan nama di atas.  Dia ada di dunia pewayangan. Memang tidak terkenal.  Nampaknya Mbilung, dan kakaknya, Togog, dibuat untuk mengimbangi punakawan di pihak Pandawa. Semar dan anak-anaknya.  Bila Semar, Gareng, Petruk dan Bagong mengabdi kepada raja baik-budi, Togog dan Mbilung kepada raja jahat atau satria yang hanya mengejar keduniawian semata.

Meskipun tuannya tokoh hitam, Togog dan Mbilung mempunyai misi yang luhur.  Mereka selalu mengatakan kebenaran.  Mengkritisi tingkah-polah raja yang keliru, tamak dan angkara.  Mereka diminta para dewata membawa rajanya, kembali ke jalan yang benar.  Sampai cerita wayang ditutup, tugas  kedua kakak-beradik tadi digambarkan sia-sia.

Mbilung bertubuh kecil, kepalanya borokan, bermata sayu.  Ini menggambarkan manusia yang rendah hati, tidak besar kepala. Meskipun dijauhi orang karena bisulnya mengeluarkan bau tak sedap, Mbilung tetap setia mengabdi tuannya.  Mbilung digelari Sang Hyang Sarawita.  Ini menunjukkan tugasnya sebagai seorang punawakan yang mengabdi dengan kekritisan.

Entah mirip secara fisik atau perilaku, atau keduanya, seorang teman SMA di Semarang, puluhan tahun lalu, dipanggil “Mbilung”.   Prestasi akademisnya pas-pasan, bahkan pernah tinggal kelas.  Tetapi, Mbilung yang ini, disukai teman-teman.  Dia suka berkawan, ringan-tangan, humoris, rendah-hati dan menjadi “anak gaul”.

Setelah kami sama-sama tamat SMA, saya tak pernah jumpa dia lagi.  Kalau teman-teman lain sibuk mencari Perguruan Tinggi yang bonafid, Mbilung kelihatan cu’ek.  Dia mengaku mau langsung bekerja.  Mungkin karena menyadari nilainya yang hanya  cukupan, plus kemampuan ekonomi orang-tuanya yang tidak mendukung.  Akhirnya kami berpisah.

Tigapuluh tahun kemudian, saya bertemu Mbilung.  Tapi, saat itu dia sudah sangat jauh berbeda.  Mbilung menjadi CEO dan founder sebuah perusahaan engineering terkemuka di Indonesia.  Produknya  dipakai di manca negara.  Pekerjanya berkisar di angka 1000 orang. Sementara omzetnya per tahun saya perkirakan di atas seratus milyar  rupiah.  Mbilung jauh berbeda dibanding kala SMA dulu.  Mbilung bukan “anak bodoh” seperti 30 tahun lalu.  PD-nya terlihat mencuat dan asesorinya menyesuaikan.  Namun, Mbilung tetap Mbilung yang dulu.  Suka berteman, suka menolong, tidak sombong dan rendah hati.  Sejak bertemu kembali, kami sering copy-darat atau kontak telepon, email, SMS dan  BBM.

Suatu saat dia kirim SMS dari Spanyol, 5 hari kemudian dari Jepang dan 3 hari sesudahnya sudah di Hongkong atau Singapore.  Mbilung around the world. Kadang untuk urusan bisnis, sering untuk liburan bersama isteri dan anak laki-laki semata wayangnya.  Mbilung yang ini, bukan abdi raja jahat.  Dia telah menjadi raja itu sendiri.  Harapan saya tentunya bukan raja angkara yang diabdi oleh Mbilung dalam cerita wayang.

Suatu hari, Mbilung liburan ke Semarang.  Selain untuk nostalgia di kota kelahirannya, dia ingin bertemu teman-teman semasa sekolah.  Dia menginap di hotel Novotel.  Tentunya di kelas suite atau president suite.

Malam itu, karena dibayangi satu atau dua urusan bisnis yang belum beres, Mbilung tidak bisa tidur.  Dia gelisah.  Dia galau.  Mbilung  memutuskan keluar kamar, turun dan jalan-jalan di depan hotel.  Harapannya, kantuk akan segera tiba.

Di depan hotel, ada becak yang sedang parkir.  Di dalamnya, si tukang becak melipat badannya dan meringkuk tidur.  Kakinya ditekuk ka arah perut, kepalanya ditekuk ke arah dada.  Dia hanya berselimut kain sarung.

Belum cukup.  Karena keingin-tahuannya, Mbilung melongok ke dalam becak.  Tukang becak tertidur dengan pulasnya. Malah terdengar mendengkur. Namun……., astagfirullah………, dia dikerubuti  puluhan nyamuk yang mendenging-denging disekeliling tubuhnya.

Mbilung tertegun.  Dia undur ke belakang, langsung balik arah, setengah lari, masuk ke kamar hotelnya.  Dia membayangkan si tukang becak, yang  tidur tertekuk badannya, ditemani puluhan nyamuk, dilindungi selembar sarung tipis.  Tapi,  dia sedang lelap.  Tidurnya amat dalam.

Tidak ada urusan bisnis yang mengganggunya.  Tidak ada hitungan uang yang merisaukannya.  Tidak ada target yang  mengusiknya.  Kegalauan Mbilung yang membuat dia melek sampai lewat tengah malam, bukan milik si tukang becak.  Mbilung sadar sedang berada di kamar yang sejuk karena hembusan angin AC yang lembut, kasur mentul-mentul berbusa empuk, dan selimut tebal yang menghangatkan.  Tetapi rasa kantuk dan penat tak mampu menidurkannya.  Ironis sekali memang.

Mbilung tidak meneruskan ceritanya, apakah sejak saat itu dia langsung tertidur atau masih tersiksa dengan kesadarannya.  Mbilung minta tolong saya, bagaimana bisa menerangkan kontradiksi ini.  “Siapa bilang saya lebih berbahagia dari si tukang-becak?.  Quo vadis brother?”. Demikian Mbilung menutup emailnya.

Cerita kontroversial Mbilung tidak hanya itu.  Suatu saat dia menyesal terjebak kemacetan lalu-lintas di jalan tol.  Dia  mempertanyakan hal ini dan minta segera saya jawab.  Maksudnya tentunya, “minta ditenangkan”.

“Kenapa manusia mempersulit hidup dengan menciptakan mobil, dll.  Padahal kebutuhan hidup dasar cuman sandang, pangan dan papan.  Bila tidak ada mobil kita akan lebih sehat karena selalu jalan kaki atau naik sepeda.  Udara lebih bersih, kecelakaan fatal yang merengut nyawa manusia bisa dikurangi.  Manusia makhluk aneh dan tak pernah puas”.

Mbilung yang sehari-hari bergelut dengan alat-alat teknik yang sarat dengan ke-engineering-an, kali ini mempertanyakan salah satu hasil karya manusia di bidang teknologi.  Mbilung merasa bersalah terlibat dalam membuat penderitaan manusia.  Dia merasa dirinya bagian dari sebab karut-marutnya dunia yang kini berbalik arah menimpa dirinya.  Mbilung mengeluarkan suara hati yang suci.  Kali ini dia berperan sebagai Mbilung yang ada di cerita wayang.  Entah, siapa raja jahat yang diabdinya.  Bisa saya, bisa anda, bisa kita, bisa dia sendiri.

Email terakhir darinya, saya baca kemaren malam. Dia mempertanyakan keanehan manusia lagi.  Baginya ini bisa membingungkan Tuhan.

Setelah nonton show penyanyi  Agnes Monica di TV, Mbilung kembali mengeluarkan kontroversinya.  “Manusia mahluk aneh dan tidak pernah puas. Yang kulitnya putih dibuat coklat dengan tanning.  Yang kulitnya coklat beli kosmetik whitening, supaya putih”.

Terus terang, saya kewalahan dengan pertanyaan-pertanyaan Mbilung.  Teman baik saya sejak SMA, sampai kini.  Jangankan membantu menenangkan dirinya, alih-alih justru balik “menghantam” diri saya.  Tapi, saya akan coba meringankannya.  Saya kirim email malam ini, untuk sahabat saya, Mbilung.  Insya Allah, Puji Tuhan, dia bisa tidur nyenyak, seperti tukang becak di pinggir jalan.  Paling tidak, untuk malam ini.

“Mbilung, sulit menenangkan dirimu.  Sukar menjawab kontroversi hatimu.  Sebagian darinya, saya pun diganggu pemikiran serupa.  Sering saya tak bisa tidur nyenyak, meskipun tidak sedang di kamar senyaman  suite room,  Novotel.  Nampaknya, semua ‘manusia modern’ dijangkiti penyakit serupa.  Kita bersalah karena membuat dunia ini semakin menderita.  Paling tidak, kita tidak ikut mencegahnya.  Usul saya, kembalilah ke fungsimu sebagai Mbilung di pewayangan.  Tokoh yang - tidak sengaja - menjadi cap anda.  Mbilung yang asli pernah dinesehati para dewa.  ‘Urip iku urup’.  Hidup harus selalu menyala.  ‘Urup’  tidak hanya berarti ‘bersinar’ atau ‘membara’ atau ‘mempunyai  terang’ saja.  ‘Urup’ , juga mengandung  spirit bermakna bagi sesama, berguna bagi dunia.  Jangan malah merusaknya.  Moga-moga kamu tidur nyenyak, malam ini”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline