Lihat ke Halaman Asli

Sabuk Pengaman

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1351504143746382522

[caption id="attachment_220598" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstok)"][/caption] Seorang teman, minggu lalu curhat sambil menggerutu.  Dia kena pungli polisi, 250 ribu rupiah gara-gara lupa pakai sabuk pengaman, ketika nyopir  Kijang Inovanya.  "Sampai kapan pun, saya nggak ikhlas ngasih duit ke polisi itu. Moga-moga nggak bakalan  terjadi lagi, pada diri saya sampai anak-cucu, 7 turunan".  Kelihatan sekali perasaannya galau, ketika uneg-uneg-nya ditumpahkan siang itu. Menanggapi curhat-nya, diam-diam saya justru menyalahkan dia.  Paling tidak ada 3 kesalahan yang telah dilakukannya.  Pertama, dia melanggar UU no 14, tahun 1992, pasal 23, tentang keharusan pemakaian sabuk pengaman.  Mungkin dia tidak tahu, bahwa pelanggaran pasal ini dapat dikenakan pidana kurungan 1 bulan atau denda 1 juta rupiah.  Cukup berat, bila seandainya hukum mau diterapkan dengan konsekuen. Kedua, tentu saja dia telah melanggar UU tindak pidana suap, karena memberi pungli kepada petugas negara.  Dia diancam hukuman yang jauh lebih berat dibanding pelanggaran pertama. Ketiga,  dan ini yang paling parah, teman saya telah mengabaikan keselamatan dirinya ketika mengemudi.  Dia tidak mengenakan sabuk pengaman. Itu berarti membiarkan dirinya cedera bahkan bisa sampai mati, bila, siapa tahu kecelakaan  terjadi. Bicara mengenai kewajiban pemakaian safety belt bagi pengendara mobil, fakta menunjukkan peraturan ini relatif ditaati masyarakat dengan baik.  Saat ini, terutama di kota-kota besar, jarang dijumpai pengendara mobil tanpa safety belt.  Penggunaan alat keselamatan ini selalu otomatis dikenakan hampir semua pengemudi.  Tapi, mengapa bisa demikian? Sementara banyak (sekali) aturan lain masih sangat tumpul pelaksanaannya? Jawabannya sederhana. Peraturan pemakaian sabuk pengamanan ditegakkan dengan konsekuen.  Pengemudi yang tidak mengenakannya, gampang terlihat polisi, dan langsung kena denda.  Apakah tilang resmi, atau pungli.  Denda 250 ribu ternyata menimbulkan efek jera bagi pelanggarannya.  Dan ini membuktikan "hukum perilaku" berlaku nyaris sempurna. "Perilaku yang mendapat konsekuensi positif, akan diulang.  Perilaku yang mendapat konsekuensi negatif, akan dihentikan".  Pelanggaran terhadap peraturan pemakaian safety belt termasuk jenis perilaku kedua.  Bila seseorang melanggarnya dan (mudah sekali) tertangkap, akan mendapat konsekuensi negatif dalam bentuk denda.   Efek jera timbul, dan "budaya" positif berangsur terbentuk. Sekali lagi, kewajiban pemakaian safety belt ternyata salah satu peraturan yang relatif ditaati masyarakat.   Bandingkan, misalnya, dengan larangan merokok di tempat umum. Larangan membuang sampah atau larangan menyebrang jalan di luar zebra cross.  Hilang tanpa kesan.  Semuanya termasuk golongan perilaku pertama. Ia tidak mendapat konsekuensi negatif, sehingga akan terus diulang.  Akhirnya aturan-aturan tadi kosong melompong, tanpa bekas. Buat saya, penerapan aturan kewajiban penggunaan safety belt, merupakan contoh yang sangat tepat untuk ditiru.  Masalahnya adalah, apakah negara, sebagai law enforcer, punya komitmen untuk menegakkannya? Kalau bangsa kita saat ini dinilai sangat kacau dalam penerapan aturan publik, jawabannya, ternyata sangat sederhana.  Tidak ada penegakan hukum.  Atau kalau pun ada, ia sangat lemah.  Tidak konsisten, tebang pilih dan non-imparsial.  Penegakan hukum  dengan ciri-ciri seperti itu tidak menimbulkan efek jera.  Peraturan menjadi lamat-lamat dan akhirnya hilang sama sekali.  Sementara tujuan disusunnya peraturan itu, hilang entah kemana. Meskipun masyarakat mulai menaati aturan kewajiban pemakaian safety belt, (hanya) karena "takut", tetapi efektifitasnya cukup tinggi.      Sejatinya, menaati peraturan karena "takut", tidak cukup ampuh membuat aturan itu tahan lama.  Sedikit saja penegakan hukum dikendorkan, maka aturan, serta merta akan dilanggar.  Kemudian, ia akan hilang kembali.  Menaati peraturan karena "takut", sedikit demi sedikit harus ditingkatkan ke taraf terjadinya "internalisasi" dalam dirinya. Memakai safety belt bukan lagi karena takut didenda pak polisi, tetapi karena itulah cara mengemudi yang aman.  Baik bagi dirinya, penumpangnya, maupun orang lain.  Bila ia sampai taraf seperti itu, maka efektivitas aturan menjadi sangat tinggi.  Itulah yang diharapkan dari dikeluarkannya segala macam bentuk aturan. Masyarakat yang menaati peraturan-(peraturan) karena internalisasi diri, berlaku umum dan untuk jangka waktu lama, disebut sebagai masyarakat madani (civil society).  Itu yang disebut sebagai masyarakat yang "tata tentrem kertaraharja". Pertanyaannya berikutnya adalah, mengapa law enforcement susah sekali ditegakkan di Indonesia?.  Jawabannya adalah karena budaya Indonesia (baca : berasal dari budaya Jawa) yang sulit bertindak lugas.  Ia begitu fleksibel dan penuh basa-basi.  Peraturan menjadi lembek terutama bila mengenai diri sendiri plus kelompok internal.  Orang sulit memaafkan orang lain, tetapi begitu mudah memaafkan dirinya (dan kelompoknya). Saya yakin bila diadakan survei mengenai persepsi orang tentang pemberantas korupsi, 100% responden akan setuju.  Bila "orang lain" terlibat korupsi, 100% responden sepakat untuk ditindak tegas dengan hukuman tertinggi.  Tetapi, bila sahabat, teman satu partai, teman sealmamater, saudara, keluarga, kenalan baik, yang terlibat, maka beramai-ramai orang berbalik mendukungnya.  Respon negatif terhadap penegakan hukum keluar bertubi-tubi.  Mantan narapidana korupsi masih diangkat kembali menjadi ketua PSSI untuk 2 periode. Pejabat Pemda diangkat kembali setelah bebas dari hukuman. Bahkan anggota parlemen dipilih kembali setelah dibebaskan "hukum".  Grasi, remisi dan pengurangan hukuman dibagi royal kepada terhukum korupsi yang dikenalnya dengan baik.  Penegakan hukum melemah.  Akibatnya, perilaku positif tidak muncul.  Masyarakat madani jauh dari kenyataan. Kuncinya adalah, sekali lagi,  penegakan hukum, law enforcement.  Ia harus konsekuen, tak pandang bulu, konsisten, dan adil.  Yang tak kalah penting, budaya hukum harus menjadi kebiasaan yang berlaku umum.  Hukum sosial harus digalang dan "dijatuhkan" dengan proporsional.  Tak peduli dia "orang lain" atau "orang kita". Nabi Muhammad  mencontohkan dengan sangat tepat dan jelas.  Beliau akan memotong tangan putrinya, Fatimah binti Muhammad, bila seandainya puterinya itu terbukti mencuri "Bahwa orang-orang Quraisy sedang digelisahkan oleh perkara seorang wanita Makhzum yang mencuri. Mereka berkata: Siapakah yang berani membicarakan masalah ini kepada Rasulullah saw.? Mereka menjawab: Siapa lagi yang berani selain Usamah, pemuda kesayangan Rasulullah saw. Maka berbicaralah Usamah kepada Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah saw. bersabda: Apakah kamu meminta syafaat dalam hudud Allah? Kemudian beliau berdiri dan berpidato: Wahai manusia! Sesungguhnya yang membinasakan umat-umat sebelum kamu ialah, manakala seorang yang terhormat di antara mereka mencuri, maka mereka membiarkannya. Namun bila seorang yang lemah di antara mereka mencuri, maka mereka akan melaksanakan hukum hudud atas dirinya. Demi Allah, sekiranya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya akan aku potong tangannya". (Shahih Muslim No.3196)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline