Lihat ke Halaman Asli

Public Service

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13409369161218773414

Enambulan lalu, saya berjalan untuk makan siang, di trotoarpinggir jalan S. Parman, Slipi.Jalan raya utama di kota Jakarta, ibukota negara Republik Indonesia.Ada trotoar selebar 1-2 meter yang lumayan digunakan sebagai pedestrian.Tidak terlalu nyaman, tidak lebar, tidak teduh dan tidak rata, tetapi termasuk oke untuk ukuran sarana jalan-kaki di Jakarta.

Persis di depan hotel Ibis, saya melihat lubang mengangga. Balok semen penutup gorong-gorong pecah.Ia membuat pejalan kaki bak menghadapi bahaya mengerikan.Lubangselebar trotoar, membuat orang yang berjalan di atasnya, harus mlipir ke kiri atau ke kanan, agar tidak terjerembab masuk ke dalamnya. Sedikit saja anda lengah, tak ayal lagi akan terjeburke lubang sedalam kira-kira 60 cm, dengan alas yang penuh pipa-pipa tak beraturan.Entah bagaimana kalau malam tiba.Gelap gulita akan mengundang orang terjerumus ke dalamnya.

Minggu lalu, saya melalui rute yang sama.Saya terhenyak melihat lubang itu masih terbuka disana.Masih persis seperti6 bulan lalu.Ia masih mengangga, menunggu korban-korban berikutnya, untuk terperosok dalam lubang yang sama.Saya tidak tahu berapa banyak manusia yang sudah terjebak di situ.Tidak ada rekamanyang mencatat hal itu.Tapi saya menduga telah ada beberapa manusia luka karenanya.Mereka bisa pejalan kaki, pengendara sepeda motor, pedagang kaki lima atau bahkan anak-anak yang sedang bermain di sekitarnya.

Sayamembatin dalam hati, sungguh mengerikan bila ia tetap ada di sana.Yang lebih mengerikan, tak seorang pun pihak yang merasa bertanggung-jawab membenahinya.Apakah dia warga negara biasa, apakah dia pemerintahan kota, apakah masyarakat yang berdiam disekitar sana.Atau jangan-jangan saya, atau anda.Sekali lagi, perangkap nyawa manusia sudah menganga disana, selama 6 bulan, dan tak seorang pun hirau akan hal itu.

Tak tahan melihatnya, saya ambil foto dan mengirimkannya kepada siapa saja yang mau peduli.12 Juni 2012,13.42, saya mengirim melalui akun twitter saya, @pmsusbandono, dengan tambahan pesan :

“Lubang menganga lebar di trotoar depan hotel Ibis Slipi.Sdh berbulan2 tdk diurus. We are an autopilot country, aren’t we?”.

Belum setengah jam dikirim, saya mendapatkan bahwa ia sudah di-retwitoleh seorang follower saya.Tidak terhitung mereka yang reply langsung ke alamat saya. Sepuluh menit kemudian, ia dikirimkan-kembali ke akun yang lebih banyak, oleh sebuah alamat twitter @jakartaplaces.Setelah itu, saya tak lagi mengikuti kabar beritanya.

Entah kebetulan atau karena rangkaian kicauandiatas, 3 hari setelah itu, saya mendapatkan lubang itu telah ditutup dengan cor-coran semen.Sungguh lega melihat itu.Perlu waktu 6 bulan lebih dan sebuah pesan yang dikirim melalui media sosial, agar bahaya yang menunggu korban-korban berikutnya berhenti sudah.

Alhamdulillah, Puji Tuhan.Ancaman bahaya pedestrian di trotoar Slipi telah usai.

Ada 2hal yang ingin saya catat dari kejadian diatas.

Pertama, public service di Indonesia adalah sesuatu yang dikelola dengan cara yang masih buruk.Kedua, betapa digdayanya komunikasi melalui media sosial berbasis teknologi informasi on lineyang mutakhir.

Public service atau pelayanan publik di Indonesia memang belum menjadi perhatian serius.Ia dikelola seadanya, tanpa memperhatikan danmemperhitungkan keamanan apalagi kenyamanan para penggunanya.Ia bisa berupa pelayanan pendidikan, kesehatan, transportasi, jalan, pengelolaan sampah, lindung-lingkungan, listrik, air bersih, drainase dan banyak lagi.Semuanya masih jauh dari memuaskan.Public serviceadalah pelayanan yang seharusnya disediakan oleh pemerintah, diberikan kepada warganya, dengan imbalan semurah dan semudah mungkin. Idealnya, ia bisa dinikmati seluruh masyarakat, tanpa memandang siapa dia, berapa penghasilannya, apa statusnya.Ia bebas gender, agama, ras, dan hal-hal primodial lainnya.

Seluruh warga negara harus setara dalam menikmati public service.Pelayanan publik, by definition, ditujukan untuk memudahkan masyarakat hidup layak, sehat, aman, berpendidikan, berkembang dan mencari nafkah.Pada akhirnya, mencapai masyarakat adil-makmur, gemah ripah loh jinawi.

Sama dengan sektor kehidupan bermasyarakat lainnya, public service tidak bisa lepas dari campur tangan media sosial.Saat ini, masyarakat mempunyai banyak alat untuk mengontrol kualitas pelayanan publik.Itu yang harus disadari oleh semua pihak.Kalau anda ingin public service semakin baik, jangan diam saja.Jangan apatis.Jangan cuek. Beri masukan, kritik, protes, atau bahkan “makian” kepada pengelolanya.Gunakan media sosial yang ada.Ia akan membantu kita meningkatkan dengan sangat efektif.Ia bisa berupa facebook, twitter, milis, web, blog, youtube, media on line dan masih banyak lagi.

Kisah tentang “kesaktian” media sosial sebagai kontrol pelayanan publik ternyata cukup banyak.Prita yang dikecewakan salah satu rumah-sakit di bilangan Serpong, menggegerkan media karena menuliskannya di facebook.Dalam waktu sangat singkat “keluhan” Prita menyebar di kalangan “facebooker” membuat managemen RS itu berang.Puncaknya, “dompet Prita” dihimpun untuk membayar denda pengadilan yang terpaksa dibayarnya.

Lita yang dijebak oknum polisi dengan ancaman “menyimpan narkoba”, berteriak lantang lewat akun twitter-nya.Berita menyebar dan polisi kewalahan menangkisnya.Masyarakat geger dan Lita mendapat dukungan seantero penjuru.Polisi dihujat dan dicap kerap melakukan praktek serupa, pas menjelangHari Bhayangkara.Ironis memang.

Sementara, seorang oknum perwira TNI diketahui mengancam dengan pistol seorang pengendara sepeda motor karena senggolan kecil di jalan raya.Aksinyadirekam, entah oleh siapa,dan disebar melalui youtube.Sang perwira – konon - kena sangsi atasannya.Kesewenang-wenangan si oknum “ditelanjangi” di depan masyarakat agar kejadian serupa tak berulang lagi.

Public service dan social media, 2 hal yang mempunyai irisan, mengandung interface, bukan merupakan hal yang mutually exclusive.Efektivitas media sosialdalam menyebarkan informasiharus dimanfaatkan untuk menyadarkan para“pelayan publik” bahwa pemimpin diangkat bukan untukdilayani, tetapi untuk melayani.“Leader has not come to be served – but to serve people”. (Matius 20:28).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline