Lihat ke Halaman Asli

Gagap

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya punya idola seorang pesohor.  Tepatnya, dia seorang pelawak, yang kadang-kadang masuk dapur rekaman sebagai penyanyi.  Suaranya pas-pasan, tetapi karena namanya sedang mencorong dan punya kemauan keras untuk maju, albumnya lumayan laku.

Profesi sampingan lain, sebagai pemain film dan pemandu acara di TV.  Istilah kerennya, sebagai host.  Juga tidak terlalu menonjol, meskipun rating-nya lumayan oke.  Lengkap sudah peran sang tokoh ini sebagai seniman.  Pelawak, penyanyi, pemain film, dan juga pembawa acara.  Semuanya rata-rata saja, tidak hebat, tidak laku keras, tidak ngetop, tapi sustainable, ajeg dan bertahan lama.

Dia manggung  sejak 1991, sampai kini.  Kariernya sudah lebih dari 10 tahun.   Di Indonesia, jarang ada  selebriti yang awet terkenal lebih dari 3 tahun.  Sang tokoh ini merupakan sedikit dari mereka yang tergolong pengecualian.

Nama aslinya Muhammad Azis.  Lebih terkenal sebagai Azis Gagap.  Nama lain yang masih mirip adalah Azis Pura-pura Gagap.  Dia lahir di Jakarta, 39 tahun lalu, dari keluarga sederhana.  Lenong adalah pentas pertama Azis dalam mengawali karier melawaknya. Dia harus berkeliling dari  satu desa ke desa lain,  sekedar untuk membuat dapurnya mengepul.  Tahun 1999 dia bergabung  dengan grup lawak Bagito dalam acara "Paviliun 21" di TVRI.  Jalan hidupnya berubah, ketika Aziz berkenalan dengan Patrio, pimpinan Bagito.

Sejak tahun 2008 karier Azis mulai menanjak dengan main di Opera Van Java (OVJ), bersama Parto, Sule, Andre, dan Nunung.  Dan disitulah Azis mendaki karier menuju ke puncak popularitasnya.  Di OVJ pulalah namanya semakin melejit.  Konon, Aziz dibayar 25 juta rupiah setiap episode.  Anda bisa hitung sendiri, berapa pendapatannya, bila dia manggung 25 kali setiap bulan.  Luarbiasa besarnya bukan?

Tapi, yang membuat namanya tak gampang dilupakan orang adalah tambahan predikat "Gagap" dibelakang Azis.  Dia "terpaksa" harus belajar bicara gagap.  Setiap kali mengucapkan 1 atau 2 kata, Azis harus berhenti ngomong dan (pura-pura) tersengal-sengal, sebelum menuntaskan kalimatnya.  Bahasa Inggrisnya stutter.  Bahasa Sundanya, Arap-ap-eureur-eup atau ngatog.  Itu yang membuat Azis sukses seperti saat ini.

Ketika ditanya wartawan mengapa dia harus (pura-pura) dan menambah namanya dengan "Gagap",  dengan ringan menjawab : "Itu kan sekedar selling point".  Azis yang tak pernah belajar teori marketing, menerapkan  strategi pemasaran produk dengan jitu, yaitu mempunyai selling point.  Pilihannya tepat.  Dia sukses dan duit membanjiri koceknya.

Ternyata, Azis Gagap tidak sendirian.  Duapuluh lima tahun lalu, ada pelawak kondang dengan predikat yang menjadi titik-jual. Namanya Darto, julukannya "Darto Helem".  Itu gara-gara kepalanya botak, licin.  Persis mirip helem pengendara motor.  Ada juga grup lawak, yang terdiri dari orang-orang kuntet dan menyebut dirinya Smekot, atau "semeter-kotor".  Tukul Arwana, host terkenal acara "Bukan Empat Mata", justru menggunakan "keblo'onan" sebagai selling point untuk menjual namanya, dan dia sukses besar.

Selling point merupakan hal lumrah dalam dunia jualan.  Tidak hanya artis yang "minta bantuan" titik-jual untuk melariskan dagangannya, tetapi juga produk barang jadi.  Sepatu Nike menggunakan "Just Do It", sementara Coca-Cola menggunakan jargon "Dimana saja, kapan saja, siapa saja, minum Coca Cola".  Tolak Angin mencap dirinya sebagai "minuman orang pintar".  Sama sekali tanpa alasan.   Mengapa orang pintar harus minum Tolak Angin dan apakah yang tidak minum adalah "orang bodoh"?  Biasanya, selling point dipakai apabila tanpa itu, pamornya tidak kunjung beken.

Sekali lagi, dalam dunia marketing, selling point adalah hal yang lumrah saja.  Ia tidak harus dihayati secara sungguh-sungguh sebagai roh atau jiwa produk itu.  Sekedar "biar laku" saja.  Ia tidak harus ditanggapi secara berlebihan.  Ia bukan predikat sejatinya. Ia  tidak harus persis seperti itu.  Kalau saja ada orang yang marah-marah kepada produsen Coca Cola karena dianggap memaksa semua orang harus minum Coca Cola, maka sebaiknya dia dibawa ke Psikiater.

Itulah yang juga dilakukan oleh penyanyi atraktif Lady Gaga.  Dia menyebut dirinya sebagai "Mother Monster", dan supaya lebih seram, memanggil fans fanatiknya "Little Monsters".  Ternyata, ibu para monster tadi  sukses menggapai kariernya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline