Lihat ke Halaman Asli

Sartika

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya menduga anda mengira nama orang yang saya jadikan judul di atas adalah Dewi Sartika (1884-1947).  Perempuan pejuang tanah Pasundan yang diakui sebagai perintis pendidikan kaum perempuan, dan Pahlawan Nasional (1966).  Anda benar,  tetapi tidak sepenuhnya.  Saya ingin cerita tentang 2 tokoh perempuan yang kebetulan bernama Sartika.

Yang pertama adalah Dewi Sartika.  Sejak usia 10 tahun, dia sudah menunjukkan bakat dan minatnya di bidang pendidikan, terutama untuk kaum perempuan.  Ketika itu, perempuan yang terdidik dan terpelajar masih sangat langka, tapi Sartika adalah salah satu diantaranya.  Tidak hanya itu, Sartika kecil sudah menunjukkan kemampuannya mengajar kepada anak-anak pembantu di kepatihan Cicalengka, tempat dimana dia kukut (bahasa Jawa : ngenger) pamannya, setelah ayahnya mangkat.

Sekolah yang semula menjadi ajang bermain bagi Sartika, kemudian membesar dan semakin besar.  Pada usia 18 tahun, Sartika sudah mengajar kelas informal yang berisi sekitar 20 murid.  Mereka belajar keterampilan seperti merenda, memasak, menjahit, dan juga membaca, menulis serta berhitung.

10 tahun kemudian, cikal-bakal sekolah Sartika, diberi nama Sakola Istri (sekolah perempuan), yang kemudian beralih nama menjadi Sakola Kautamaan Istri (sekolah keutamaan perempuan).  Karena jasa-jasa yang tak terhitung di dunia pendidikan, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia Belanda, dan nama sekolah itu pun menjadi Sakola Raden Dewi.  Untuk menghormat dan mengenang kegigihan  Sang Dewi, mewujudkan cita-citanya, memajukan kaum perempuan pribumi, di tanah airnya.

Dewi Sartika menjadi legenda, hingga kini.  Namanya menjadi tonggak perjuangan kaum perempuan, terutama di Jawa Barat.  Menjadi nama jalan, yayasan sosial, lembaga pendidikan, sekolah  bahkan universitas.  Cerita mengenai dirinya menjadi epos.  Pelajaran sejarah mencatat namanya dengan pelbagai predikat menyanjung.  Kawih Dewi Sartika menjadi langgam wajib murid SD di tataran tanah Sunda.  Kantun jujuluk nu arum. (tinggal namanya yang harum).

Sartika kedua adalah cerita tentang tetangga saya. Seorang gadis Betawi, 18 tahun.  Ayahnya penyandang tuna-netra. Kami memanggilnya Bang Sarat. Sementara ibunya tak mampu meraih penghasilan tetap setiap harinya.  Kedua kakaknya sudah menikah, entah sekarang tinggal dimana.  Sartika yang ini memang bukan pahlawan perempuan.  Dia gadis biasa-biasa saja.  Tinggal di Gang PLN, RT 01, Pondok Karya, Tangerang Selatan.  Karena terpaksa, Sartika menjadi tulang punggung keluarganya,  dia dan kedua orang tuanya.  Sartika menjadi SPG di salah satu toko kecil di daerah Ciledug, tak jauh dari kampung kami.  Saya menduga penghasilannya sangat jauh dari cukup untuk mereka bertiga.   Mungkin dibawah UMP.  Atau bahkan jauh lebih sedikit dari itu.  Rumahnya sangat sederhana.  Beberapa penggal tanahnya sudah tergadaikan dan akhirnya terpaksa dijual.  Tinggal sepetak tanah dengan bangunan seadanya.  Tetapi semuanya nampak oke, sampai kira-kira 2 minggu sebelum libur Paskah.

Suatu sore, pak Untung mengirim sms.  Dia dan pak Gayus Sihotang mau main ke rumah.  Saya sudah menduga bahwa akan ada cerita yang serius.  Berdebar saya menantikan ketukan pintu mereka.  Sampai akhirnya, pukul 8 malam, mereka tiba.  Tanpa basa-basi, pak Gayus langsung nrocos, cerita tentang tetangganya, yang tak lain adalah Sartika.  Dia sudah 3 hari  menderita sakit parah.  Sartika sering muntah darah, badan panas dan tubuh lemas.  Klinik 24 jam sudah mengisyaratkan agar Sartika segera dikirim ke Rumah Sakit rujukan.  Tetapi keluarga bergeming.  Mereka sama sekali tidak punya dana.  Pak Gayus, pak Untung dan beberapa tetangga saweran.  Terkumpul uang tak sampai Rp 250 ribu.  Cukup membuat mereka PD mengirim Sartika ke RS Veteran, tak jauh dari kampung kami.

Singkat kata, mereka curhat dan minta pendapat saya.  Kami spontan membentuk tim relawan Sartika.  Sangat informal, small size, cair, tapi harus efektif.  Prinsipnya hanya satu,  Sartika harus ditolong.  Bapak dan ibunya tak bisa berbuat banyak, kecuali menangis dan mengeluh.  Mereka kaum tak berdaya, kaum pinggiran, kaum miskin kota, tak boleh sakit, tak berhak berobat, tak  berhak kenal dokter, tak berhak mengunjungi RS.  Bagi mereka, pilihan hanya 2, sehat atau masuk surga.

Akhirnya,  Sartika berhasil dirawat dengan saksama.  Dia masuk ruang isolasi, karena penyakitnya dianggap sangat menular.  Pengobatan diberikan dengan pengawasan dokter ahli penyakit dalam.  Pak Gayus, pak Untung, pak Hendrik dan entah siapa lagi, tetangga-tetangga yang peduli bergantian menjenguk Sartika.  Ngobrol dengan dokter yang merawat dan terus memberi dukungan.  Tim relewan berkumpul 2 hari sekali.  Tukar informasi tentang Sartika dan menghitung dana terkumpul. Selalu kurang, tapi kami optimis ada tangan lain yang jauh lebih besar dan digdaya, selalu menuntun kami.  Dikabarkan bahwa keadaannya terus semakin membaik dan  diperkenankan dirawat di ruang perawatan normal.  Sartika mulai sembuh.

Kamis,  5 April 2012, pukul 3 sore.  Pak Gayus menelpon saya.  Diujung sana, suaranya sumringah, ceria, setengah berteriak.  "Sartika sudah diizinkan pulang sore ini".  Saya minta tolong  agar pak Gayus dan pak Untung segera menjemputnya, karena kedua orang tuanya tak mungkin melakukannya.  Pak Gayus beringsut dan suaranya menjadi pelan, tak sekencang sebelumnya.  Dia keberatan.  Setengah berbisik dia menyahut : "Saya harus ikut upacara Kamis Putih di gereja.  Ini hari-hari penting menjelang Paskah".  Dengan nada tinggi, saya potong kalimatnya yang belum selesai. Saya minta sekali lagi agar dia menjemput Sartika.  "Yesus sedang menunggu anda di RS Veteran".  Saya berteriak karena exciting, membayangkan Sartika sedang kegirangan karena sudah boleh pulang.  Bapak dan ibunya pasti berbinar,  menunggu sang puteri kembali ke rumah.  Setelah hampir 2 minggu dirawat, Sartika sembuh.    Sartika segera bekerja lagi  sebagai SPG.  Sartika kembali menjadi tulang punggung keluarga.  Persis bersamaan dengan pak Gayus, pak Untung dan beberapa dari kami yang beragama Kristiani, sebentar lagi  merayakan Paskah.  Hari Kebangkitan Sang Juru Selamat.  Membebaskan seluruh umat manusia dari penderitaan dunia, termasuk sakitnya Sartika.  Pak Gayus dengan perlahan meng-hiya-kan permintaan saya, nyaris tak terdengar.

Pak Gayus, seorang mandor pengeboran sumur pompa, Batak tembak langsung, mendapat "pelajaran agama" dari seorang gadis remaja, sederhana dan apa adanya.  Sartika menjadi alat-peraga yang dipakai Tuhan untuk mengajari pak Gayus, pak Untung, anda, saya, kita semua, bagaimana caranya memuliakan Tuhan.  Yang paling tepat adalah lewat mencintai sesamanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline