Lihat ke Halaman Asli

Imagine

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1297507892216730640

"............................. Imagine there's no countries It isn't hard to do Nothing to kill or die for And no religion too Imagine all the people Living life in peace ....................................." Anda benar.  Lirik diatas  adalah cuplikan lagu berjudul Imagine yang dinyanyikan penyanyi legendaris, John Lenon (1940-1980), dan dibukukan dalam album lawasnya berjudul sama, Imagine (1971).  Lenon, saat itu,  memang sedang geram melihat  peperangan dan kekerasan yang terus terjadi dimana-mana, dengan kedok negara bahkan atas nama agama.  Setelah berpisah dengan grup bandnya yang terkenal, The Beatles (1970), Lenon ditandai mempunyai jiwa pemberontak dan selera humor yang sinis, yang dipuncaki  berkolaborasi dengan isteri keduanya, Yoko Ono, perempuan keturunan Jepang, mengkampanyekan perdamaian dengan semboyan "revolusi bunga" (flower's generation).  Ia terus berteriak tentang betapa pentingnya hidup rukun berdampingan sebagai sesama warga dunia.  Tetapi, Lenon memang  kebablasan, selain menyalahkan batas negara dan kotak-kotak agama yang justru menjadi biang-kerok kekerasan, dia juga menafikkan harta-milik, yang menyebabkan manusia menjadi rakus dan takut akan kelaparan.  Living life in peace, begitulah John Lenon memimpikan kehidupan dunia yang sangat dia cintai.  Adakah esensi perjuangan Lenon untuk mewujudkan perdamaian di bumi ini, dengan menyalahkan negara dan agama sebagai sebab-musabab kekerasan, memang benar?  Sejarah  telah dan akan membuktikannya. Seperti kebanyakan para pejuang anti-kekerasan lainnya, Lenon  mati, oleh sebab kekerasan itu sendiri.  Dia ditembak penggemarnya, penderita schizophrenia, Mark Chapman, di New York, pada usia yang masih sangat muda (40). Dominasi dan monopoli kebenaran yang dipegang erat oleh negara atau agama, yang menyebabkan hilangnya perdamaian dan hidup bersama, bukan hanya terjadi di zaman Lenon.  Jauh sebelum itu, pada abad pertengahan, abad kegelapan, ketika hirarki Gereja juga berfungsi sebagai negara, sekaligus penguasa, merangkap pemegang otoritas kebenaran dunia, seorang ilmuwan terkenal, Galileo Galilei (1564-1642), menjadi korbannya.  Galileo adalah seorang yang komplet.  Selain sebagai musisi, dia juga seorang Matematikawan, Fisikawan, Astronom.  Sebagai anak dari keluarga miskin, Galileo diharapkan ayahnya untuk menjadi seorang dokter.  Namun jiwa ilmiahnya tak bisa dikekang oleh materi.  Ia lari ke ilmu-murni dengan mendalami Fisika dan Matematika di Universitas Padua, Italia.  Disitulah petaka itu mulai terjadi.  Dengan otoritas ilmu yang dia miliki dan teleskop yang dia baru temukan, Galileo membuktikan bahwa teori Aristoteles dan Ptolemeus mengenai benda angkasa adalah salah.  Mereka mengatakan bahwa bumi tetap dan dikelilingi oleh matahari dan bintang-bintang yang mengorbit memutarinya.  Sementara Galileo bersikukuh sebaliknya, dengan mengatakan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.  Lalu apa hubungannya dengan otoritas Gereja?  Karena salah menafsirkan sepenggal ayat Kitab Suci, Gereja yang didukung oleh universitas-universitas di Italia berpihak kepada Ptolemeus dan menganggap apa yang dinyatakan oleh Galileo adalah bida'ah,  sesat dan menyesatkan.  Akibatnya,  Galileo diadili oleh inkuisisi (pengadilan) Gereja dan divonis sebagai ekskomunikasi (dikucilkan) oleh agama yang kala itu sangat berkuasa.  Dia menjadi tahanan rumah dengan penjagaan tentara.  Seorang ilmuwan yang credible, harus mendekam dalam sangkar yang dibuat oleh agamawan, sampai meninggal pada usia 78 tahun.  Ia tetap meninggal sebagai ilmuwan dan teorinya ternyata menjadi suatu kebenaran.  Ratusan tahun kemudian, nama Galileo baru direhabilitasi oleh Paus Johanes Paulus II, suatu "pengakuan dosa" yang dilakukan oleh pimpinan tertinggi Gereja masa kini, terhadap "dosa" yang dibuat oleh pendahulunya. Hukuman bagi Galileo yang "tidak seberapa", bahkan tanpa terlibatnya kekerasan fisik, menjadi peringatan kepada  umat manusia bahwa perbedaan pendapat, tidak selayaknya diselesaikan dengan pendekatan kekuasaan, apalagi kekerasan. Perbedaan pendapat adalah suatu rakhmat. Kekerasan dijamin pasti tidak akan menyelesaikan perbedaan pendapat.  Kekerasan hanya memuaskan salah satu hal yang ada di dalam diri manusia, yaitu nafsu untuk menang, keinginan untuk berkuasa. Ia sama-sekali tidak akan memperbaiki keadaan atau apalagi membangun dunia yang damai, tanpa perang, tanpa kekerasan seperti cita-cita John Lenon.  Galileo menjadi tumbal yang seharusnya menyadarkan manusia bahwa kebenaran adalah sesuatu yang nisbi, dan sangat sering merupakan fungsi dari variabel waktu. Kisah mirip Galileo ternyata juga terjadi di tanah Jawa.  Ia menimpa seorang  yang dianggap sufi dan penyebar agama Islam di pulau Jawa, Syeh Siti Jenar.  Jenar, yang mempunyai nama lain, Sitibrit, Lemahbang dan Lemah Abang, sebetulnya seorang ulama yang disegani.  Ada salah satu pendapat yang dipegang kuat oleh Jenar, yaitu bahwa berdebat tentang masalah agama adalah sia-sia.   Setiap pemeluk agama, apakah agama yang sama, ataupun berbeda, menyembah Zat yang satu dan sama, Yang Maha Kuasa.  Hanya saja, masing-masing menyembah dengan menyebut nama dan cara yang berbeda.  Mengapa manusia yang penuh dengan keterbatasan  harus bertengkar bahkan berbunuhan untuk menyembah Tuhan yang sama?  Masalah mulai muncul ketika Sjeh Siti Jenar berbeda pendapat dengan para ulama mainstream pada waktu itu yang berkolaborasi dengan umara, yaitu kerajaan Demak Bintoro. Jenar dituduh menyebarkan ajaran yang sesat dan menyesatkan.  Selisih pendapat tidak dapat diselesaikan dengan baik-baik dan "pengadilan" atas Jenar memutuskan dia dihukum mati.  Jenar nampaknya tidak keberatan  mati untuk ajarannya yang juga menyembah Sang Maha Kuasa.  Tetapi, kisah mengenai perbedaan pendapat atas Tuhan Yang Satu, sama sekali tidak bermanfaat untuk diselesaikan dengan kekuasaan dan kekerasan.  Konon, beredar cerita di kalangan pengikutnya bahwa ketika jenazah Jenar disemayamkan di masjid Demak, semerbak harum mewangi dan cahaya berkilau menyelimuti dirinya. Meskipun terjadi pada   teritori yang berjauhan, kisah Galileo dan Jenar  membawa pesan yang sama. Keduanya terjadi ratusan tahun silam.  Tetapi, pelajaran yang bisa dipetik dari keduanya masih relevan hingga kini, bahkan hingga hari ini.   Galileo dan Jenar harus rela dihukum, belum tentu karena bersalah, tetapi yang pasti karena berbeda pendapat dengan penguasa dan agama pada waktu itu.  Perdamaian dan hidup rukun masih menjadi cita-cita John Lenon.  Tetapi jeritan Lenon akan hilangnya pertikaian dari muka bumi masih diteriakkan oleh mayoritas umat manusia.  Salah satunya adalah Gus Mus, seorang Kyai, intelektual Islam dan tokoh NU.  Saya menduga bahwa Gus Mus  (KH A. Mustofa Bisri) ketika membuat puisi ini, diilhami  surat Al-Hujurat  13, yang turun ketika terjadi kontroversi pantas-tidaknya  Bilal, si budak hitam, yang naik ke atas Ka'bah untuk mengumandangkan azan, yang kutipannya berbunyi sbb  : ".......Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.  Sungguh yang paling mulia diantara kamu disisi Allah, ialah orang yang paling takwa". ".............................................................. Syirik adalah dosa yang paling besar Dan syirik yang paling akbar adalah mensekutukanNya dengan mempertuhankan diri sendiri Dengan memutlakkan kebenaran sendiri Laa Ilaaha Illallah" (Gus Mus - 2005)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline