Saat almarhumah ibu saya masih sugeng*/, ada 3 penyanyi yang menjadi idolanya. Mereka adalah Bob Tutupoly, Broery Marantika dan Eddy Silitonga. Karena saat itu, hanya ada 1 stasiun yang eksis di angkasa Indonesia, maka ibu tak pernah absen menonton acara musik di TV pemerintah itu. Kamera Ria, Aneka Ria Safari dan Berpacu Dalam Melodi menjadi langganan yang ditunggu setiap malam. Ibu menanti ketiga pujaannya tampil beraksi di layar kaca.
Sulit bagi kami, anak-anaknya, mengerti mengapa ibu kesengsem kepada mereka. Tetapi, berangsur-angsur kami memahaminya. Mereka adalah penyanyi-penyanyi terbaik pada masanya. Bahkan, meski usianya sudah hampir tiga perempat abad, satu diantaranya, masih tampil di layar kaca. Dia adalah Bob Tutupoly.
Penyanyi berdarah Ambon yang lahir dan besar di Surabaya itu, mempunyai suara khas yang disebut sebagai "serak-serak basah". Dia dijuluki Harry Belafonte dari timur. Itu merujuk ke seorang penyanyi terkenal Afrika-Amerika yang juga dikenal sebagai aktivis politik melawan diskriminasi rasial. Lagu yang populer dibawakannya adalah "Matilda".
Meski banyak lagu, yang kini sudah masuk kategori "tembang kenangan", tak disangkal kalau "Widuri" merupakan master piece sang idola. Syair lagu yang memuja seorang gadis dengan nama yang sama dengan judul lagu itu, bahkan masih dinyanyikan banyak orang hingga kini. Selain itu, beberapa lagu Bob yang menjadi top hits adalah "Tinggi Gunung Seribu Janji", "Kerinduan", "Jangan Pernah Berkata Benci", dan "Tiada Maaf Bagimu".
"Tinggi Gunung Seribu Janji" adalah tembang favorit ibu saya. Entah karena liriknya, atau lagunya, atau keduanya. Tapi dugaan saya, ibu menggemarinya lebih kepada iramanya yang manis dan lembut. Meski liriknya tak kalah puitis dan romantis. Coba simak penggalannya.
Memang lidah tak bertulang, tak berbekas kata-kata. Tinggi gunung seribu janji, lain di bibir lain di hati.
Bob sedang bersenandung mengingat kasihnya yang ingkar. Meski janji pergi tak lama, namun ternyata dia tak kembali. Lidah memang tak bertulang. Jadi, ucapan apa pun, bisa dengan mudah ditarik kembali. Entah dibatalkan atau begitu saja diingkari.
Memegang teguh janji, nampaknya bukan perkara mudah. Dalam beberapa kasus, ia membutuhkan pengorbanan. Kadang harus mengalahkan kepentingan diri, agar janji bisa ditepati. Tapi, itulah resiko janji. Ia harus ditunaikan.
Meski tak punya kekuatan hukum mengikat, janji mempunyai kewajiban moral dan etis yang tak boleh begitu saja diingkari. Janji adalah hutang, yang harus dilunaskan, dengan cara apa pun, sampai kapan pun. Membatalkan sepihak, identik dengan pengingkaran.
Lebih dalam dari itu, janji di kalangan bisnis adalah batu fondasi dari trust. Sementara trust menjadi dasar dari kelangsungan relasi selanjutnya. Dunia profesional bahkan menuntut orang memenuhi janjinya, hingga ke ketepatan waktu dan syarat yang diucapkan saat ia dibuat. Sulit diingkari bahwa komitmen akan janji menjadi ciri dari si pembuatnya. Pengingkar janji sulit menjadi profesional handal atau pengusaha kredibel.
Pemenuhan janji juga menjadi tanda bagaimana seseorang memberi penghargaan dan penghormatan kepada partnernya. Janji dengan atasan, tak sedetik pun akan terlambat. Itu tanda rasa hormat ada di sana. Meski bisa jadi didasarkan "hanya" pada rasa takut akan kehilangan harta, pekerjaan atau posisi. Terhadap orang yang tidak berpengaruh, komitmen itu mudah ditekuk, dan disimpan di kantong celana dalam-dalam. Ia mudah luntur, gampang terkubur, sepele digusur. Toh resiko dan akibatnya tidak ada. Disitulah kemudian sikap meremehkan terbaca dengan mudah. Penghargaan terhadap seseorang ditandai dari komitmen dalam memenuhi janji. Kalau ingkar, itu isyarat bahwa rasa hormat dan menghargai juga tiada.