Lihat ke Halaman Asli

Tetangga

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


Kini, nama di Indonesia sudah tidak bisa digunakan untuk menandai suku atau asal seseorang.  Teller sebuah bank pemerintah di bilangan Slipi, bernama Nasution.   “Ini pasti orang Batak”, begitu para nasabah menduga.  Ternyata, mereka salah sangka.  Nasution yang ini, Betawi asli.  Hanya karena bapaknya pengagum berat Jenderal Besar A.H. Nasution, anaknya diberi nama  persis seperti marga sang Jenderal.

Begitu pula nama khas Jawa, seperti Slamet, Sugeng, atau Bambang, bisa saja disandang orang Sumatera, Kalimantan atau bahkan Sulawesi, tak peduli suku apa mereka berasal.  Dan begitu pula sebaliknya.  Eropa atau Arab, bahkan Cina atau India malah juga mempengaruhi banyak nama di Indonesia.  Mungkin ini yang dimaksud oleh Sumpah Pemuda, “Berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia”.

Tak ketinggalan tetangga saya yang asli Wonogiri.  Namanya kombinasi barat dan Arab, Jim Salam.  Salam adalah nama aslinya, sementara Jim panggilannya.  Meski agak janggal, Mister Jim atau Wan Salam terbuka kedoknya saat mulai bicara.  Logat Jawa yang medok menjadi tanda dari mana dia berasal.  Tetapi, siapa pun namanya, dan dari mana dia berasal, Jim mempunyai catatan khusus di hati saya.  Jim memberi contoh bagaimana bertetangga yang baik, seperti yang diajarkan agamanya.

Salah satu kebiasaannya sebelum berangkat ke kantor di pagi hari, Jim selalu melongok ke beberapa tetangga di kanan-kiri rumahnya. Kalau kebetulan terlihat, dia menyapa sekedarnya, baru kemudian tancap gas melaju ke kantor.  Itulah kebiasaan yang dilakukannya setiap pagi.  Semula, itu yang membuat saya heran, mengapa dan apa tujuan itu semua.  Sampai kemudian terjawab, ketika saya sempat menegurnya.

“Sekedar menyapa tetangga pak, sambil menanyakan keadaannya. Siapa tahu mereka sedang membutuhkan kita”.  Meski jawabannya terdengar biasa-biasa saja, enteng dan tanpa beban,   cukup membuat saya terdiam sejenak tapi berpikir panjang.  Ya, tetangga adalah saudara terdekat.  Selayaknya kepada saudara, apalagi terdekat, kita harus peduli dan hormat. Langkah mas Jim menarik untuk terus diamati.

Hubungan antar tetangga memang unik.  Kebiasaan, budaya, tata-nilai, pola-hidup dan banyak variabel lain yang sudah kadung inheren dalam sebuah keluarga, harus melebur dan berbaur dengan banyak keluarga lainnya.  Masing-masing mempunyai warna tersendiri.  Utamanya karena bertetangga adalah hidup dalam komunitas yang, minimal dari segi jarak, berdekatan, dengan banyak tujuan yang sama, kebutuhan yang saling mendukung dan interaksi  yang saling membangun.   Jim Salam menerapkan konsep bertetangga dengan pas, bila memang hidup bersama yang guyub hendak diraih.

Masih cerita tentang kebiasaan Jim dengan para tetangganya. Tidak hanya menyapa setiap pagi, Jim juga peduli terhadap mereka yang sedang dalam kesusahan.  Bila ada yang sakit, tak absen untuk menjenguk.  Bila ada yang meninggal, tak lupa untuk melayat.  Bila ada yang berselisih, tak telat untuk mendamaikan.  Mengirim makanan ringan dilakukan sekali-kali, sebagai tanda kasih. Singkatnya, Jim terpandang di kampung kami, karena menjadi tetangga yang baik. Sikapnya yang bersahabat dan peduli dengan para tetangganya - masih menurut dia - merupakan penerapan dari ajaran agama yang diimaninya.

Mustahil orang bisa hidup sendirian di tengah kota besar yang semakin sesak dan hiruk-pikuk, maka bertetangga adalah keniscayaan.  Tetapi, bertetangga yang rukun dan saling mendukung adalah pilihan.  Ada 2 alternatif; mau hidup ala perumahan elit di Jakarta, yang bahkan saling tak mengenal, atau mempraktekkan cara Jim Salam yang berinteraksi positif dengan tetangga sekitarnya.

Yang pertama mungkin karena saling tidak membutuhkan.  Maka, jangankan bertegur sapa, tahu nama pun tidak.  Sementara yang kedua ingin menikmati hidup sebagai makhluk sosial.  Jim bahkan sering berujar, bertetangga cara dia tak ada ruginya, yang didapat malah hidup bahagia, karena mempunyai banyak saudara.

Masih kisah tentang Jim Salam.  Suatu sore, selepas waktu Isya, Jim nongkrong di pos Hansip, di ujung jalan.  Tak mau melepas kesempatan emas karena ada beberapa tetangga yang lagireriungan di sana.  Jim mengutip beberapa Hadis yang menempatkan tetangga begitu terhormat.

Seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Fulanah (seorang perempuan) menyebutkan tentang banyak sholatnya, puasanya, dan shodaqohnya.  Tetapi dia menyakiti tetangganya dengan lisannya”.  Nabi menjawab, “Dia di neraka”. Laki-laki itu berkata lagi, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Fulanah menyebutkan tentang sedikit puasanya, shodaqohnya, dan sholatnya, serta dia bershodaqoh beberapa potong keju dan tidak menyakiti tetanggannya”.  Nabi berkata, “Dia di surga”.

Menjadi jelas bagi saya mengapa Jim Salam menempatkan tetangga begitu tinggi bahkan mulia.  Tetangga diletakkan pada tempat yang tinggi, tanpa membedakan warna kulit, suku, keyakinan, asal-muasal atau tingkat sosial.  Prinsipnya sangat jelas.  Ajarannya sangat mudah dipahami, crystal clear.  Manfaatnya terasa langsung bagi Jim dan keluarganya.  Hidupnya damai dan sejahtera karena penghormatan kepada para tetangga, memantul balik ke arahnya, menjadi kedamaian dan kebahagiaan keluarganya.

Jim meneruskan tausiah sore itu.  Banyak Hadis yang meriwayatkan bagaimana   kita harus menempatkan tetangga pada posisi yang khusus untuk dihormati dan dipedulikan.  Hadis yang lain mengatakan :

Tiada beriman kepadaku orang yang tidur dengan perut kenyang, sementara tetangganya lapar, padahal dia mengetahui hal itu.

Saya ikut mengangguk-angguk tanda setuju. Penjelasannya  masuk akal.  Jim pantas untuk mengajarkan kepada kami, karena dia mempraktekkannya dengan kasat mata.  Diam-diam, saya bertekad untuk menirunya, meski tak yakin akan berhasil sepenuhnya.

Kisah mendapatkan tetangga memang seperti menemukan jodoh. Kita bisa memilih banyak teman, atau membuat banyak musuh. Tapi, hanya Tuhan yang bisa menentukan, siapa yang menjadi tetangga kita.  Karena itu merupakan anugerahNya, sepantasnya kita menghormati dan mempedulikan mereka.

We make our friends, we make our enemies, but God makes one next door neighbour” (Gilbert K. Chesterton, 1874-1936, Jurnalis Inggris).




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline