Lihat ke Halaman Asli

Spanduk

Diperbarui: 17 Juni 2015   22:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bapak dan ibu saya lancar bercakap dalam Bahasa Belanda. Sayang, saya tak mampu belajar dari mereka. Salah satu sebabnya adalah karena mereka menggunakan Bahasa Belanda untuk membicarakan sesuatu yang tidak boleh diketahui anak-anaknya. Dalam Bahasa Jawa, mereka ngrasani cah-cah nganggo coro londo. Tak ayal, sadar atau tidak, Bahasa Belanda tabu kami pahami.

Sampai sekarang, Bahasa Belanda masih terus membayangi Bahasa Indonesia. Itu karena Bahasa Indonesia disebut sebagai bahasa yang berkembang. Bahasa yang hidup, yang kosa katanya terus bertambah atau berkurang. Lima tahun anda tinggal di luar negeri, akan bengong ketika mendengar kata-kata baru, seperti ejawantah, rekonsiliasi, mitigasi atau pemakzulan. Pengaruh bahasa daerah dan asing sudah, sedang dan akan terus menghidupkan Bahasa Indonesia. Ia terus mencari dan mengganti. Kata-kata baru lahir, yang lama dilupakan orang. Kata yang pernah hilang, muncul kembali kadang dengan arti yang lain.

Apotek adalah salah satu contoh kata yang masih laris untuk digunakan menyebut ‘tempat (rumah) menjual obat'. Ia berasal dari apotheek. Krah (baju) hasil adopsi dari kraag. Kwitansi dari kwitantie, kusen (pintu) dari kozijn. (kacang) Buncis dari boontjes, dan antri diturunkan dari in de rij. Masih banyak lagi, kata seperti akur dari akooord, dan kompor dari komfoor.

Sementara yang berangsur-angsur menghilang diantaranya adalah aubade, dari aubade. Leveransir dari leverancier, kemudian menjelma menjadi pemasok. Makelar dari makelaar, juga sudah banyak dilupakan orang, diganti dengan calo. Inreyen terjemahan bebas dari inrijden. Yang dulu sempat populer, tapi sekarang meredup, adalah, katabelece, yang merupakan serapan dari kattebelletje.

Pernah saya membaca promosi seorang tukang jahit, yang ditulis dalam 3 versi kalimat yang berbeda. "Ahli Vermak Celana Levis", "Ahli Permak Jin", dan "Ahli Fermak Lepis". Ketiga kata, ‘vermak, permak dan fermak', ternyata diambil dari Bahasa Belanda, vermaak, yang konon, secara harafiah artinya hiburan. Karena standar baku tidak dipahami oleh sang kleermakers (penjahit), maka lahirlah bahasa Indo-Belanda dalam wujud berbeda-beda. Tidak Bahasa Belanda, tidak juga Bahasa Indonesia, ketiganya tidak benar secara tata bahasa mana pun.

Kata spanduk juga berasal dari Bahasa Belanda. Ia diadopsi dari spandoek, artinya kira-kira : "Kain rentang yang berisi slogan, propaganda, atau berita yang perlu diketahui khalayak ramai". (http://kamusbahasaindonesia.org)

Karena kemajuan teknologi informasi, komputer dan cetak mencetak, maka kualitas spanduk semakin canggih. Cara membuatnya semakin cepat dan murah. Tak heran kalau spanduk makin banyak betebaran di kota-kota di Indonesia. Tak peduli dengan pemandangan kota yang tambah jorok, menimpali kemacetan, polusi dan sampah yang semakin menjengkelkan.

Isi spanduk sering membuat yang membaca tersenyum sendiri. Kreativitas si pemasang, membuat pesan yang disampaikan terasa menggelitik. Justru yang seperti ini malah membuat informasi menjadi lebih efektif sampai ke masyarakat.

Contoh spanduk jenis ini pernah saya baca di sebuah gang di bilangan Tangerang Selatan. "Mas.... Ojo Ngebut - I Love You". Pesan dikemas dengan damai dan lucu. Lantas, apa hubungan antara ngebut dengan cinta? Tak perlu serius menjawabnya. Yang penting, mereka yang membaca akan mengurangi kecepatan kendaraannya.

Masih jenis spanduk seperti "Ngebut vs cinta", coba simak spanduk yang dipasang di sebuah kompleks perumahan ini.

"Pemulung Masuk :

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline