Lihat ke Halaman Asli

Gara - Gara (orang-orang) PARPOL

Diperbarui: 17 Juni 2015   23:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14118913121028012472

Beberapa hari terakhir ini, di media – media Indonesia entah di media sosial, media cetak, media elektronik ramai memberitakan tentang RUU Pilkada. Berita yang termuat di situ hampir semuanya menolak pengesahan RUU Pilkada menjadi UU Pilkada. Di dalam UU itu, secara ringkas, ingin membuat Pilkada tidak langsung. Berbagai penolakan datang dari segala lapisan masyarakat. Mulai dari kalangan rakyat jelata, kyai, dari para Bupati, Wali Kota, Gubernur, bahkan sampai bapak SBY, Presiden kita sekarang ini. Wow, sebegitu keras kah penolakan masyarakat terhadap UU tersebut?

UU Pilkada ini mungkin produk terakhir dari DPR periode 2009 – 2014. Prestasi yang sangat membingungkan sebenarnya. Sebelum disahkan menjadi UU, RUU Pilkada ini mendapat penolakan yang sangat keras dari masyarakat. Ada beberapa sih yang mendukung RUU Pilkada ini. Akan tetapi gelombang penolakan saya rasa lebih kuat. RUU Pilkada yang sedang jadi polemik saat itu secara ringkasnya ingin membuat Pilkada tidak langsung. Jadi kepala daerah itu akan dipilih oleh rakyat, tapi melalui “wakil – wakilnya”. Jelas banyak yang tidak setuju, ini namanya kemunduran Demokrasi. Bukan kata saya itu, kata banyak orang seperti itu kira – kira.

Entah apa yang ada di pikiran anggota Dewan yang terhormat itu. Mengakunya adalah wakil rakyat, tapi apa yang disuarakan saya rasa tidak mewakili rakyat. Sama sekali tidak mencerminkan suara rakyat yang diwakilinya. Apa yang mereka suarakan justru merupakan suara dari partai politik dan/atau koalisinya. Para pendukung UU Pilkada itu memiliki banyak alasan yang mungkin ada benarnya, salah satunya mereka merujuk ke Pancasila sila keempat. Yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Lagi – lagi Pancasila ini dipakai untuk menggebuk pihak yang tidak sependapat dengan mereka. Segala keputusan itu harus dimusyawarahkan dan diwakilkan. Tidak terkecuali Pilkada. Itu kata mereka. Namun mereka lupa, di UUD 1945  pasal 6A dan pasal 22E secara jelas bahwa Pemilu yang untuk mereka dilakukan dengan cara langsung dipilh oleh rakyat. Nah, tidak sejalan ini jadinya. Sangat membingungkan bukan?

Sedangkan dari pihak yang menolak sebenarnya mereka itu bukan menolak sistem yang demikian saya kira. Ini merupakan bentuk antipati mereka terhadap yang namanya PARPOL. Ya, semua ini karena (orang-orang) PARPOL. (orang-orang) PARPOL mengakunya adalah wakil dari rakyat, mewakili suara mereka, mengantarkan suara mereka di sana, nyatanya hanya omong kosong belaka. Partai politik hanya digunakan untuk meraih uang, meraih kekuasaan yang terstruktur, sistematis dan masif oleh para mafia berjas. Sebagus apapun rayuan, dan program yang ditawarkan partai politik, masyarakat sebenernya muak. Mereka mau memilih di Pemilu ya karena uang. Karena mereka diberi uang yang besarnya bervariasi. Dari 20 ribu rupiah hingga 100 ribu rupiah. Setidaknya itu fakta di lapangan saat saya menjadi surveyor di sebuah lembaga survey.

Partai politik yang sejatinya merupakan kendaraan yang sah untuk maju ke panggung politik itu, sudah berubah makna menjadi hal yang menjijikkan karena perbuatan orang yang “miskin”. Kenapa disebut miskin karena mereka yang ada di partai politik merasa serba kekurangan. Kekurangan harta, wanita, dan kekuasaan. Partai politik sekarang menjadi sebuah kolonialisme baru. Orang – orang yang sebangsa dan setanah airnya hanya menjadi jajahan. Ironis, sungguh ironis. Tapi saya masih yakin, masih ada orang – orang di partai politik yang memang berhati malaikat dan tulus dalam menjalankan tanggung jawabnya karena Tuhan. Namun, masih saja hal itu masih sia – sia.

Hal itulah sebenarnya yang menjadikan reaksi penolakan yang begitu keras di masyarakat tentang UU Pilkada. Mereka tidak ingin suara mereka dirampas oleh orang – orang dari partai politik yang bukan hanya suara rakyat, tapi semua yang ada di rakyat mereka rampas, apapun itu. Saya pun sebenarnya tidak ada masalah dengan UU Pilkada itu. Yang bermasalah ya para pembuat UU tersebut. Kalau mereka mau untuk dihargai, ya jadilah yang benar. Benar menurut konstitusi dan menurut agama mereka masing – masing. Jangan sampai DPR dan DPRD dibubarkan oleh rakyat. Karena suara rakyat itu suara Tuhan, karena tidak ada yang tidak mungkin bagi Tuhan. Termasuk membubarkan DPR dan DPRD.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline