Lagi-lagi Amin Rais menyerang Jokowi. Setelah sempat mempertanyakan nasionalisme Jokowi, pada hari Selasa (24/9/2013) Amin Rais menyerang Jokowi dengan menyarankan untuk tidak memilih Jokowi karena kepopulerannya.Amin Rais menyamakan dengan mantan presiden Filipina Joseph Estrada yang dipilih sebagai presiden Filipina karena kepopulerannya.
Ada hal yang tidak masuk akal dengan logika Amin Rais. Seseorang memilih presiden pasti memilih orang yang dikenalnya, yaitu orang yang popular. Memang rumusnya seperti itu. Tambahan lagi kepopuleran Jokowi mempunyai sumber yang berbeda dengan kepopuleran Joseph Estrada. Kepopuleran Jokowi bersumber dari track record-nya yang positif. Sepertinya Amin Rais ini “waton suloyo”, asal menyerang saja.
Ada apa sebenarnya diantara kedua orang ini?
Kedua orang ini berasal dari kota yang sama, Solo. Biasanya orang satu daerah mempunyai satu keterikatan. Keterikatan itu timbul karena merasa mempunyai akar yang sama. Maka di ibukota negara ini banyak muncul paguyuban yang bersifat kedaerahan. Pada waktu-waktu tertentu biasanya mereka berkumpul dan bernostalgia, atau menanyakan perkembangan tempat asalnya.
Namun keterikatan kedaerahan itu dikalahkan oleh kepentingan yang berbeda. Kalau kita melihat track record sikap Amin Rais selama ini, sebenarnya ini tidaklah aneh. Sikap ini konsisten dengan sikapnya pada saat menggalang kelompok Poros Tengah di tahun 1999. Perbedaan ideologis antara kaum abangan dan kaum santri adalah penyebabnya. Ini adalah pertarungan “el-classico”. Sudah berlangsung sejak Pemilu 1955. Untuk kepentingannya itu saat ini Amin Rais sedang menggalang pertemuan-pertemuan dengan tokoh-tokoh Islam untuk membuat Poros Tengah Jilid II.
Dari perkembangan pertemuan-pertemuan itu tampaknya Amin Rais sudah pindah ke lain hati. Amin Rais mulai melihat Hatta Rajasa kurang mempunyai nilai jual. Sebagai besan SBY dan anggota kabinet sekarang, maka Hatta Rajasa dipersepsikan sebagai bagian dari pemerintahan sekarang yang gagal. Lalu siapa tambatan hati Amin Rais saat ini? Sepertinya Mahfud MD menjadi tambatan hatinya yang baru. Dia ingin bernostalgia dengan kaum nahdliyin seperti saat membentuk Poros Tengah Jilid I. Namun sayangnya pihak PKB tidak merespon positif pembentukan Poros Tengah Jilid II. PKB masih trauma dengan pengkianatan Amin Rais terhadap Gus Dur.
Karakter Amin Rais yang berani membuat dia tanpa tedeng aling-aling menyerang Jokowi. Dia dengan transparan menunjukkan kejelasan sikapnya. Sikap golongan santri terhadap golongan abangan. Dengan keberanian Amin Rais menyatakan sikapnya ini, sebenarnya di kalangan partai Islam banyak yang senang. Mereka bersembunyi di balik Amin Rais.
Perkembangan kedepannya akan sangat tergantung pada Megawati. Jika Megawati memasangkan Jokowi dengan calon internal PDIP, seperti Puan, maka Poros Tengah Jilid II kemungkinan besar akan terbentuk. Namun jika memasangkannya dengan Mahfud Md, maka ini merupakan langkah cerdas. Langkah ini akan memporak-porandakan rencana pembentukan Poros Tengah Jilid II. Namun untuk memasangkannya dengan Mahfud Md, Megawati dihadapkan pada dilema. Megawati masih ingin trah Soekarno meneruskan dan mengambil estafet tongkat kepemimpinannya.
Dari pertarungan “el-classico” ini, Mahfud Md dan PKB dengan cerdik main di dua kaki. Rhoma Irama sudah merupakan masa lalu (mungkin memang hanya merupakan intermezzo saja). Itulah penyebab sebenarnya Mahfud Md batal ikut konvensi partai Demokrat.
Masih banyak kemungkinan ke depan. Calon presiden lain tidak akan tinggal diam untuk meningkatkan elektabilitasnya. Popularitas Jokowi akan turun. Hanya saja seberapa besar turunnya.
Tampaknya Amin Rais tidak peduli dengan ikatan kedaerahan, “Sesama orang Solo dilarang saling mencaci”. Terlebih lagi Amin Rais sudah merasa menjadi orang Jogja, karenahampir 3/4 hidupnya ada di Jogja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H