Lihat ke Halaman Asli

Susanto

Seorang pendidik, ayah empat orang anak.

Perpisahan Siswa Kelas 6 SD Nanggap Wayang Kulit, Pasti Mahal, Ya?

Diperbarui: 10 Juni 2024   14:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu atraksi dalam acara Perpisahan (Dok. Pribadi Susanto)

Saya pengemar wayang, terutama wayang kulit Jawa. Tidak peduli gaya Banyumas, Yogyakarta, Surakarta, atau gaya Jawa Timuran. Semuanya saya suka.

Kegemaran saya terhadap pertunjukan wayang tidak terlepas dari peran ayah saya yang sering mengajak menonton wayang dan meletakkan saya duduk dekat kotak wayang sang Dalang. Saat itu saya masih kelas tiga atau empat sekolah dasar.

Jika pertunjukan wayang dekat dengan rumah, pada tengah malam saya diantar dan diletakkan di dekat kotak sembari menitipkan kepada para 'penabuh' di dekat situ. Pada tengah malam saatnya dalang menggelar adegan Goro-Goro. Keempat punakawan: Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong keluar menghibur penonton dengan candaannya dan sajian lagu-lagu Gending Jawa.

Setelah agak besar, usia SMP, saya pergi sendiri. Penasaran bagaimana adegan wayang pada sore hingga tengah malam saat penggalan pertunjukan itu yang sering saya saksikan.

Sedikit demi sedikit, akhirnya saya memahami dan mencoba menghapalkan beberapa tokoh protagonis dan antagonis, dari pihak Pandawa dan Kurawa.

Ketika itu, Klenteng Tiong Hoa yang ada di kelurahan saya hampir setiap tahun menggelar pertunjukan wayang kulit. Biasanya pada peringatan 17 Agustus. Selain bulan Agustus, warga yang tergolong orang berada atau yang telanjur nazar 'menanggap' (istilah Jawa untuk menyewa Dalang menggelar pertunjukan wayang) ketika hajatan. 

Pun, di desa ketika memasuki bulan Muaharam mengadakan acara 'Bersih Desa' dengan menggelar wayang. Dengan demikian, saya memiliki banyak kesempatan untuk menonton secara 'Live' pertunjukan para dalang itu.

Pengetahuan wayang saya makin mantap setelah akrab dengan teman sekolah yang memiliki komik wayang karangan R.A Kosasih. Saya sering main ke rumahnya dan menumpang membaca komik wayang yang ia miliki. 

Selain itu, pelajaran Bahasa Jawa di sekolah mengajarkan juga cerita-cerita pewayangan, baik Ramayana maupun Mahabharata. Pengetahuan tentang dunia perwayangan pun semakin mantap.

Setelah pergi merantau ke Sumatera dan diam di pedalaman, melalui pesawat radio saya sering mendengarkan siaran wayang melalaui RRI Stasiun Pusat Jakarta.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline