Dua hari sesudah membaca diary ibu Inayah Hanum berjudul "Oyen Semata Wayang" kucingku di rumah yang kutulis di kolom komentarnya sedang hamil, beranak. Meongan lembut bayi kucing mengagetkanku. Ia baru saja keluar dari rahim sang mama. Lalu, ketiga adiknya pun menyusul, tanpa aku ketahui.
Sang induk menyembunyikan di sudut garasi. Aku pun meminta pasir kepada tetangga depan rumah. Pasir itu aku masukkan ke dalam kardus yang lebar. Untuk apa? Untuk tempat pup induk dan anak-anaknya kelak.
Tiga hari kemudian, sang induk memindahkan anak-anaknya di antara dua karung. Cukup tersembunyi. Ia menyusui anak-anaknya dengan penuh kasih sayang. Aku pun rajin memberi makan induknya. Karena belum sempat membeli pakan kucing, ketika kami memasak ikan, ada ikan yang aku sisihkan untuknya makan. Demikian juga ketika ayam peliharaan ditangkap istri, lalu kami sembelih dan masak bumbu kalasan, sepotong demi sepotong aku berikan kepada sang induk. Harapannya, air susunya banyak dan deras sehingga cukup dibagika kepada keempat anaknya.
Dua hari kemudian, sang induk memindahkan anak-anaknya kembali. Kali ini mereka dipindahkan di pojok ruang. Masih agak tersembunyi. Induk kucing pun cukup leluasa memberi makan anak-anaknya melalui puting susunya. Puting-puting kecil itu yang menjadi rebutan kitty kecil.
Pagi 10 Oktober 2022, sebelum berangkat bekerja, suara anak kucing berebut puting masih terdengar. Makanan kucing induk pun aku siapkan. Aku tinggalkan mereka dengan tenang. Semoga kali ini mereka hidup dan besar seperti generasi pertama yang lahir bulan Okotober tahun lalu.
Lima kakak-kakaknya pada kelahiran pertama tumbuh menjadi kucing remaja yang gagah. Mereka diadopsi tetangga. Sebagian lagi bermain jauh hingga menghilang dan akhirnya si induk pun birahi kembali.
Anak kedua lahir. Mereka berjumlah tiga ekor. Hitam legam, loreng, dan putih bercampur tutul hitam. Cantik sekali. Mereka lahir di bawah rimbun batang pisang. Karena hujan, aku kasihan dan memindahkan mereka ke dalam rumah. Induknya pun menurut dan mengikuti. Ia pun terlihat merawat anak-anaknya dengan baik. Akan tetapi, naas. Pada suatu hari sang induk tidak mau menyusui. Akhirnya, satu demi satu sang anak pun mati. Mereka aku kuburkan di pekarangan samping rumah.
Induk kucingku adalah kucing yang cacat. Entah perbuatan siapa, ketika masih gadis kecil, pergelangan kaki kirinya dipotong benda tajam. Ia pun pincang. Karena kasihan, ia selalu kami beri makan. Lama-lama ia menjadi jinak. Mengkin menganggap kami adalah tuannya.
Meskipun pincang, karena pergelangan kaki kirinya hilang, banyak bujang yang menghampiri. Jantan putih, jantan 'oyen', jantan belang putih hitam, jantan loreng, dan jantan hitam legam pernah kepergok merayunya.
Aku yang tidak paham tentang perkembangbiakan kucing, cukup kuat menduga si gadis kami sedang berproses menjadi calon ibu. Si "pus" hamil.