Miris!
Satu kata itu mengiringi perasaan penulis saat mengikuti kegiatan Sekolah Kepemimpinan Muda-Mudi Penyandang Disabilitas (Youth with Disability Leadership) Program Kota Bandung 2019.
Lebih kurang 15 penyandang disabilitas yang terdiri dari tunanetra, tunadaksa, dan tunarungu, lengkap dengan 15 para pendampingnya, baik itu dari orang tua maupun guru, pada Jumat, 13/12/2019.
Di dalam Ruangan Drupadi Lantai 2 Hotel Mercure, di Jalan Lengkong Besar No. 8, Cikawao, Kecamatan Lengkong, Kota Bandung, Jawa Barat, para disabilitas dan pembimbing mendapatkan kesempatan untuk curah gagasan dari kasus yang diberikan pemateri.
Untuk lebih mengenal hak-hak dasar dan lebih memahaminya, ibu Kustini yang akrab dengan panggilan Ibu Tini, telah menyiapkan kasus untuk ditelisik tiap kelompok dan kemudian ada pertanyaan yang harus di jawab dan didiskusikan.
Seperti peserta lainnya, penulis pun mengikuti kegiatan kelompok tersbut. Pak Rizky sebagai pembimbing kelompok kami membacakan kasus yang terjadi pada disabilitas yang masih bersekolah.
Kelompok kami pun asyik berdiskusi untuk menjawab pertanyaan yang telah diberikan oleh narasumber.
Usai berdiskusi, setiap kelompok menyampaikan semua jawabannya. Merangkum dari semua jawaban para kelompok dan juga tambahan-tambahan langsung dari narasumber, ternyata masih banyak sekali hak-hak dasar penyandang disabilitas yang masih terabaikan.
Kelompok 1:
Hasil analisis dan pemaparan dari kelompok 1, berdasarkan berita yang mereka dapatkan, ternyata untuk merubah paradigma disabilitas untuk menempatkan mereka sebagai kaum yang termarjinalkan masihlah sangat sulit.
Penting sekali untuk mengkaji ulang peraturan-peraturan yang ada dan juga sosialisasi agar kaum penyandang disabilitas mendapatkan kesempatan yang sama dengan masyarakat pada umumnya.