Sudah cukup lama saya tidak berkumpul di Kamisan bersama teman FLP Bandung di Selasar Masjid Salman ITB. Maka, kemarin menjadi kesempatan pertama lagi di bulan Ramadhan ini untuk berkumpul dengan mereka. Biasanya kita membahas karya-karya sastra yang sudah terbit. Baik itu karya sastra Indonesia maupun karya sastra dunia. Bentuknya pun berbeda-beda, bisa karya cerpen, novel, puisi, atau karya lainnya yang sedang berkembang saat ini. Untuk membahas karya pribadi biasanya ada kesempatan khusus dalam kegiatan mentoring.
Dalam kesempatan ini, kebanyakan membahas tentang cerita rakyat. Sebab, di lingkungan saya (penulis yang senang mengikuti lomba, ingin mengikuti lomba, senang berkompetisi dalam lomba, atau sekedar iseng-iseng berhadiah mengikuti lomba dengan angan-angan siapa tahu menang), sedang tertarik dengan adanya lomba menulis cerita rakyat yang diadakan Kemendikbud. Tak tanggung-tanggung, hadiahnya puluhan juta. Juara pertamanya nanti mendapat Rp. 30.000.000 (tiga puluh juta rupiah), dan juara lainnya pun mendapat nominal fantastis. Siapa sih yang tidak akan ngiler dengan nominal hadiah tersebut.... Ya, meski mungkin yang ngiler hanya orang tertentu. :)
Menurut Kang Topik Mulyana, dosen bahasa dan sastra salah satu universitas di Bandung, sekaligus pemateri Kamisan kemarin, (25/06/15), cerita rakyat memiliki 3 bentuk.
1. Mitos, memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
- Kebanyakan tokohnya makhluk supranatural. Bisa dewa, jin, dan lainnya.
- Setting bukan hanya di dunia ini, tapi bisa juga di khayangan atau negeri lainnya.
- Disucikan atau disakralkan oleh masyarakat/umat tertentu.
- Ajaran purba yang masih kuat hingga kini, jangan macam-macam sama mitos.
catatan pentingnya; cerita mitos jangan diotak-atik karena bisa menimbulkan perselisihan antara penulis dengan mereka yang memiliki keyakinan dengan mitos tersebut. Mitos ini bersifat sangat sakral bagi umat tertentu, yang terkenal Mitologi Yunani, dan India. Misalnya kisah Krisna, Mahabharata, yang berhubungan dengan umat Hindu.
2. Legenda, memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
- Tidak berbau keagamaan
- Menceritakan tentang seseorang, dalam artian tokohnya manusia
- Tempatnya ada sebagai bukti terjadinya legenda, seperti cerita Tangkuban Parahu (Tangkuban Perahu) yang menjadi legenda cerita Sangkuriang
- Ceritanya memang masa lalu tapi jaraknya tidak terlalu jauh hingga orang bisa melihat bukti nyata dari cerita yang ada dalam legenda tersebut
- Meski tokoh tidak terlalu disakralkan, tapi masyarakat masih cukup fanatik dengan cerita legenda. Bahkan jauh lebih banyak yang fanatik dibandingkan dari mitos.
Catatan: Legenda bisa diotak-atik menjadi cerita baru dengan syarat harus kuat segala sesuatu dalam membangun cerita tersebut. Intinya, tidak asal mengubah menjadi cerita baru. Kalau mau mengubah sebuah peristiwa itu prosesnya panjang karena pengubahan ekstrinsik maupun intrinsiknya harus kuat. Misalnya saja ada yang ingin merubah kisah Malin Kundang, yang dikutuk menjadi batu ibunya. Tentu harus logis kenapa ibunya menjadi batu. Bisa dengan dibuat ibunya menjadi karakter antagonis, tokoh yang sangat senang berbuat jahat, kemudian Malin berguru pada kiai, memperingatkan ibunya secara terus menerus namun tidak bisa, dan sebagainya.
Harus hati-hati dalam mengubah cerita legenda, jangan asal menulis, tetapi harus memperhatikan berbagai hal yang sudah diutarakan di atas.
3. Dongeng
Cerita berupa dongeng ini betul-betul diproyeksikan sebagai fiksi. Bebas, tokoh bisa manusia, binatang, raja, peri, atau pun lainnya.
Ciri-ciri cerita rakyat; biasanya anonim (tidak diketahui pengarangnya, banyak versi yang begitu mencolok karena bisa jadi berawal dari sastra lisan yang terus menerus ke generasi berikutnya).