Oleh: Susanti Hara (No. 384)
“Bara benar-benar keterlaluan,” keluh Ani begitu sudah agak jauh dari sekolah.
Aku dan Ani menyusuri jalan setapak menuju rumah kami di Desa Damai. Desa yang jauh dari kota. Bahkan, untuk ke sekolah saja kami harus berjalan puluhan kilometer melewati sungai, sawah, dan rimbun pepohonan.
“Kamu kenapa, An?” tanyaku penasaran. “Pulang sekolah seharusnya bahagia sudah bebas dari jam pelajaran. Bukan malah marah-marah tidak karuan.”
Ani mengeluarkan buku tulis dari dalam tasnya. Lalu memberikannya kepadaku. “Coba kamu lihat ini.”
“Ha!” Aku mengamati buku tulis milik Ani. Lembaran kertas buku pekerjaan rumah itu menempel satu sama lain. Sepertinya ada orang yang sengaja menumpahkan cairan perekat di setiap lembar buku Ani.
“Ini perbuatan Bara lagi?” tebakku.
“Ya,” Ani mengangguk lemas. “Tadi sebelum bel pulang berbunyi, Pak Jajang memintaku menuliskan jawaban soal nomor sepuluh di papas tulis. Aku melihat Bara mengambil buku di atas meja belajarku. Begitu aku duduk kembali, bukuku basah dan lembarannya susah dibuka.”
“Tidak bisa dibiarkan,” tanganku mengepal, tanda aku menahan geram. Seenaknya saja kelakuan Bara. Setiap hari selalu ada yang dijaili.
Kemarin aku menjadi korban kejailan Bara. Murid baru di kelasku itu menghapus jawaban di buku matematikaku ketika diperiksa antar teman sekelas. Tentu saja nilai matematikaku jadi jelek. Untungnya Pak Jajang mau mendengarkan penjelasanku. Meski aku harus mengulang menjawab soal pemberian Pak Jajang, aku lega bisa menyelesaikan tugasku dengan baik.
Dan kemarinnya lagi, Bara menukar buku-buku tulisku dengan buku-buku teman sekelasku. Aku baru menyadarinya ketika hendak mengerjakan pekerjaan rumah.
Baru seminggu saja Bara di kelas 5A, aku dan teman-teman sekelas merasa tidak aman. Selalu saja ada ulah Bara menjaili kami.
“Kita harus melaporkan Bara kepada Pak Jajang,” tambahku. “Aku yakin, guru kita itu akan bisa menyelesaikan masalah ini.”
“Siapa yang berani melaporkan aku?” tiba-tiba saja Bara berdiri, bertolak pinggang di hadapan kami. Menghalangi jalanan yang sedang kami lewati. Matanya membelalak.
Iiih. Bahuku bergidik. Aku ngeri melihat tubuh tinggi besar Bara. Apalagi ia melotot seakan bola matanya mau keluar. Hampir saja buku Ani di tanganku aku lemparkan ke arah Bara saking kagetnya.
“Anak perempuan memang bisanya hanya mengadu,” ledek Bara.
Tampaknya, Ani pun tak kalah terkejutnya denganku. Kulirik sekilas tubuh Ani gemetar ketakutan. Cepat-cepat kutarik lengan Ani untuk meninggalkan tempat ini. Aku tidak mau berselisih dengan Bara. Bagaimanapun, aku ingin murid baru yang suka jail itu segera menyadari kesalahannya. Menjaili orang itu sangat merugikan orang lain. Bahkan bisa merugikan diri sendiri kalau orang yang dijaili itu melawan.
Belum terlalu jauh kami berjalan meninggalkan Bara, aku mendengar teriakan meminta tolong. Begitu pun dengan Ani. Kami berdua mendengar suara teriakan yang sama. Kami yakin itu suara Bara. Kami berlari menuju sumber teriakan.
“Ha?” Aku ternganga begitu sampai di tempat Bara berada. Seekor hewan besar mirip cecak berbintik-bintik, berwarna merah bata dan putih menggigit telunjuk Bara.
“Tolong aku,” pinta Bara.
Secara perlahan Ani mendekati Bara. Sementara aku mengamati pohon beringin di dekat Bara. Tampak lubang di pohon beringin itu.
Pasti Bara menjaili tokek pohon di lubang pohon beringin itu, batinku. Aku ingat ucapan Paman Slamet, pamanku, hewan juga punya naluri dan emosi. Hewan dapat merasakan keadaan sekelilingnya. Kalau diganggu, hewan akan membalas.
“Aku harus menunggu petir untuk menolongmu,” kata Ani.
“Apa?” suara Bara makin keras. “Kamu sengaja mau membiarkan aku semakin celaka tersambar petir.”
“Aku mau menolong kamu tahu,” jelas Ani sambil menjauhi Bara. Lalu melirik ke arahku. “Kata orang tua di desa ini, tokek takut sama petir.”
Kembali lagi aku harus ternganga. Aku belum pernah mendengar ada orang tua di Desa Damai mengatakan seperti apa yang dikatakan Ani.
Waktu aku menemani Paman Slamet mencari tanaman obat, seekor tokek pohon menggigitku. Gigitan tokek itu kuat sekali. Tanganku sampai kesakitan. Paman Slamet tidak berkata seperti yang Ani katakan barusan. Tapi, Paman Slamet langsung menolongku. Melepaskan gigitan tokek di tanganku dengan cara sederhana tak terduga. Cara yang sekarang akan aku praktikkan untuk menolong Bara.
“Lemaskan tanganmu,” pintaku kepada Bara.
Lagi-lagi Bara membelalak, seakan tak percaya kepadaku.
“Ayo, lemaskan tanganmu,” pintaku lagi sampai Bara menurut.
Kuletakkan telapak tangan Bara di atas tanah. Tubuh tokek menempel di atas tanah kemudian lari begitu saja.
“Bagus sekali adegan kalian,” Ani menunjukkan layar ponsel di tangannya. Ada foto Bara digigit tokek dan aku sedang menolong Bara.
Bara meringis, mencermati telunjuknya yang lecet. Wajahnya memerah menatap aku dan Ani bergantian. Tampaknya, selain merasa sakit, Bara juga merasa malu dan ketakutan.
Hmm, kini aku mengerti bagaimana melawan kejailan Bara. Aku menghela napas lega. “Syukurlah. Hanya dengan cara pertama saja tokek itu sudah pergi.”
“Memangnya ada cara kedua?” tanya Ani penasaran.
“Ada. Tapi itu rahasia,” jawabku singkat.
Bara tergagap-gagap sambil mengancam. “A-a-a-was kalau kalian berani menceritakan kejadian ini kepada teman-teman. Kalian akan tahu akibatnya.”
Seketika rasa takutku hilang. “Oya. Berani jail lagi? Coba saja!”
“Ka-ka-kamu berani melawanku?” Bara keheranan.
Beberapa kali aku melangkah mengelilingi Bara. Memikirkan baik-baik keputusan apa yang akan aku tentukan. Sejujurnya, aku ingin membalas sakit hatiku dan teman-teman lain yang telah dijailinya. Tapi... sekali lagi kuperhatikan wajah Bara. Ia tampak sangat gelisah. Bintik keringat bermunculan memenuhi dahinya.
“Nah, sekarang kamu tahu, kan, rasanya sakit digigit tokek. Apa kamu juga tahu bagaimana rasanya aku dan teman-teman sakit hati dijaili kamu?”
“Eu...,” Bara tampak bingung.
“Ah sudahlah. Kamu tidak perlu ngomong apa-apa,” ketusku. “Aku mau pulang sekarang.”
Terburu-buru aku pergi meninggalkan Bara. Aku tidak mau kalau akhirnya aku marah-marah tak jelas.
“Gita tungguuu!” seru Ani sambil menyusulku.
Keesokannya, seisi kelas keheranan mengamati perubahan Bara. Bara akrab denganku dan Ani. Sepulang sekolah teman-teman sekelas menanyaiku dan Ani. Mereka penasaran mengapa hari ini Bara tidak jail?
Senyumku mengembang, “Berani jail lagi? Coba saja.”
“Bara jail lagi?” Ani mengikik geli, menambahkan jawaban. “Rasanya tidak akan mungkin. Bara, kan, sudah jadi teman kita.”
*****
Catatan: Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dengan judul: Inilah Perhelatan & Hasil Karya Peserta Event Festival Fiksi Anak.
Dan, silahkan bergabung di FB Fiksiana Community.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H