Lihat ke Halaman Asli

Waktu yang Pergi

Diperbarui: 24 Juni 2015   11:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Menatap langit kali ini, suram tidak ada akhir. Menggoyang lonceng di tepi pantai, waktunya kembali pada hidup sepi; sejatinya hidup  yang memang begini.

Ada gambarmu, di balik lembah sunyi yang kuerami sedari tadi, wajah yang kuhasrati sedemikian sepi.

Purna kali ini purnama, mengantung mimpi di tepi irama denting piano. Menemukan sudah hidupmu dalam ruas jalan tanpa tepi, aku semestinya kembali ke bagian pinggir. Kau tergenapi dengan sendirinya, menemukan dirimu dalam cermin yang membias lekuk rahangmu.

II

Ada ribuan gemintang  yang menitik jadi buih luka, nanap dari ribuan tali jerit yang kita tidak mengerti. Kita seperti tertarik pada pusaran maha entah, dan kita menjadi marah sendiri. Pada apa pun itu, kita bertanya, inikah? Cinta, rindu, pupuk duri dari ribuan tahun pencarian dari jutaan kehilangan.

Aku ingin menari dengan diriku sendiri, raga ringkih yang merayap geliati malam nan sepi.

III

Malam tambah larut, aku menari dengan diriku sendiri. Entah ingin berlari pada arah mana, kita sering tersesat dalam labirin pekat. Dan menari sendiri, kertap kaki, dan gesau yang membisik lirih.

Sudah digenapi jalanmu. Ini waktu. Pergilah seperti angsa putih tanpa melambai. Jika satu hari kau jumpai hanya kenangan, maka itulah aku yang kau simpan; sebuah gambar di dalam dompetmu.

Jakarta, 12 Agustus 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline