Lihat ke Halaman Asli

Susan Susana Widiana

seorang tenaga pendidik di SMP PGRI Karangtengah Cianjur

Kunci Rumahku Kunci Hatiku

Diperbarui: 18 Juli 2021   14:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sore itu  semakin gelap, terlihat langit biru itu mulai perlahan surut, dibalut awan yang mulai kehitaman. Cahaya jingga terlihat hangat dibalik awan yang mulai gelap. Aku duduk didepan teras dapur sambil memandang putra kecilku yang sedang asik memainkan pasir di depan rumah. Padahal sore itu sudah hampir masuk waktu magrib. Anak kecil itu tak tahu kalau ibunya ini sedang kesal menunggu kakak laki-lakinya yang sedang pergi mengaji tapi kunci rumah entah dimana dia simpan.

"ayo dek kita ke rumah mamah" sahutku mengajak anak bungsuku untuk pergi ke rumah ibuku karena cuaca semakin gelap. Yang terpikir hanya itu karena kalau harus menyusul ke madrasah tempat anak sulungku mengaji tidak mungkin juga. Pasti semua sedang shalat berjamaah maghrib. Si bungsu tak menjawab hanya dia segera menepuk tangannya melepas debu pasir yang menempel di tangannya dan berjalan menuju arah gang mendahuluiku.

Kira-kira 50 meteran lagi ke rumah ibuku. Namun masih belum terlihat rumahnya, karena masih terhalang tembok bekas pabrik yang masih menjulang dua kali badan orang dewasa tingginya. Seketika pandanganku juga pandangan si bungsu tertuju pada binatang kecil panjang yang meliuk-liuk tapi samar karena gang memang mulai gelap, hanya mengandalkan cahaya di langit yang masih belum hitam.

"ibuuuu, ulaaarrrr" si dede berteriak sambil berlari menghampiriku. Saat itu memang ularnya terlihat menuju satu arah dengan tujuan kami, menurutku tak apa biarkan ularnya pergi, setelah itu baru kita berjalan saat ular itu menjauh pikirku. Tapi dasar pikiran anak kecil yang ketakutan, dia menjerit sambil berlari. Kucoba pegang tangannya dengan maksud mencegahnya berlari, menunggu ular itu lenyap dari pandangan... dia malah histeris ketakutan.. padahal ular itu hanya sebesar ibu jari kaki anak bungsuku. Aku menahan tawa melihat tingkah anak bungsuku itu, meskipun dalam hati masih kesal karena memikirkan kunci rumah.

Dan anehnya ular itu malah diam di ujung gang, mau lewat takut dipatok ular, padahal sudah semakin gelap belum sholat maghrib juga. Akhirnya karena si bungsu tidak bisa dibujuk kami pun kembali ke rumah yang semakin gelap karena lampu belum bisa dinyalakan.

Sambil duduk termangu, kucoba menghubungi anak sulungku lagi, meski kutahu pasti dia sedang shalat berjamaah dulu. Tapi karena kesal dan tak sabar terus kutulis di whatsapp

Di mana kunci?.. kunci mn?.. p..p...p..p..p..............kunciiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii

Kucoba hubungi lewat vc berharap sholatnya sudah beres. Akhirnya ada pesan masuk. Ada bu di rumah mamah katanya. Dengan kesal kujawab. GA ADA ditambah emotik kesal di akhir pesan.

Mendengar obrolan si dede dan aku, tetanggapun mungkin merasa aneh, apalagi biasanya halaman sudah terang dengan cahaya lampu kalau maghrib tiba.

"ibu kenapa baru pulang"

"iya teh kataku, ini kunci dibawa si kaka, jadi ibu ga bisa masuk rumah"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline