Di sebuah kota kecil, di sudut jalan yang ramai dengan anak muda, terdapat sebuah kafe bergaya industrial yang menjual kopi kelas atas dan aneka makanan khas Eropa. Tempat ini selalu dipenuhi suara diskusi, tawa, dan sesekali dentingan gelas yang beradu. Malam itu, di salah satu meja dekat jendela besar, lima anak muda tengah asyik berbincang.
Merekalah Raka, Dimas, Lina, Sari, dan Bima—lima orang yang berbeda latar belakang tapi punya satu kesamaan: kepedulian terhadap desa dan masa depannya.
“Jadi, Pak Yandri tadi bilang tanggal 15 Januari itu kick-off Festival Desa?” tanya Lina sambil menyesap cappuccino-nya.
“Iya,” jawab Dimas bersemangat. “Festivalnya sampai Agustus, lalu ada malam penganugerahan. Ini bakal jadi ajang besar buat desa-desa di Indonesia.”
Bima, yang sejak tadi lebih banyak mendengar, akhirnya ikut bersuara. “Aku suka konsep desa tematiknya. Ada yang fokus di pertanian, perikanan, peternakan. Ada juga desa ekspor, desa digital, desa wisata, bahkan desa energi terbarukan. Ini bukan sekadar festival, tapi strategi pembangunan.”
“Tapi menurut kalian, desa mana yang bakal paling menonjol?” tanya Sari, sambil mengaduk coklat panasnya.
“Wah, susah juga. Desa wisata pasti menarik, tapi aku penasaran dengan desa bertahan iklim,” kata Raka. “Kita tahu perubahan iklim makin parah. Kalau ada desa yang bisa jadi contoh adaptasi, itu keren banget.”
Lina mengangguk. “Benar, desa yang tahan iklim itu penting. Mungkin mereka pakai teknologi pengairan cerdas? Atau pertanian yang lebih ramah lingkungan?”
Dimas menambahkan, “Bisa juga kombinasi desa energi terbarukan dengan desa bertahan iklim. Bayangkan kalau satu desa bisa pakai tenaga surya dan biogas untuk kebutuhan sehari-hari. Bisa hemat biaya dan lebih mandiri energi.”
“Tapi jangan lupa desa ekspor,” sela Bima. “Bayangkan kalau ada desa yang bisa menembus pasar internasional dengan produk UMKM mereka. Misalnya kopi dari Toraja, coklat dari Sulawesi, atau bahkan kerajinan khas yang bisa dijual ke Eropa.”
“Benar,” kata Sari. “Dan kalau bicara digitalisasi, desa digital juga keren. Dengan internet, desa bisa jualan online, anak-anak bisa belajar lebih luas, bahkan pelayanan publik bisa lebih cepat.”