Langit kelabu menggantung rendah, seolah siap menangis kapan saja. Udara dingin pagi itu membawa rasa resah yang tak kunjung reda di dada tiga orang yang duduk bersila di bawah pohon rindang. Tak jauh dari mereka, seorang penjual kopi dengan sepeda tuanya sibuk menuang kopi hitam panas ke dalam cangkir kertas, uapnya melayang-layang di udara.
Sandi, Lila, dan Doni duduk melingkar, masing-masing memegang cangkir kopi di tangan. Suasana hening beberapa saat, hanya suara burung-burung kecil yang memecah sunyi. Di kepala mereka ada satau suara yang sama, kalian bikin surat pengunduran diri segera, itulah pesan yang disampaikan saat menerima undangan untuk datang ke sekretariat pendamping desa
Lila: (menghela napas panjang, memandang langit) "Aku nggak bisa tidur semalaman, kalian tahu? Kepikiran terus soal panggilan itu. Rasanya kayak udah diputusin duluan sebelum kita sempat bicara."
Doni: (mengaduk kopi pelan) "Sama. Aku juga nggak tenang. Mereka jelas-jelas mau kita keluar. Tapi caranya? Suruh kita bikin surat pengunduran diri dan kosongin tanggal. Itu jebakan, La. Begitu surat itu mereka pegang, mereka bisa pakai kapan aja buat 'legalkan' apa yang mereka mau."
Sandi: (menggenggam cangkirnya erat) "Yang bikin aku muak, alasan mereka tuh nggak masuk akal. Dibilang nggak aktif selama Januari? Padahal, baru darpat SK kemarin, SPT aja belum keluar! Mau kerja pakai dasar apa? Ini jelas akal-akalan mereka buat singkirin kita."
Lila: (menatap Sandi dengan mata penuh kekhawatiran) "Aku tahu itu, San. Tapi... kita bisa apa? Mereka punya kuasa. Kalau kita melawan, apa nggak malah jadi bumerang buat kita sendiri?"
Doni: (menaruh cangkir, menatap Lila tajam) "Kalau kita diem aja, La, kita cuma kasih mereka jalan buat terus mainin sistem ini. Aku udah capek ngeliat ketidakadilan kayak gini. Mereka pikir bisa tekan kita cuma karena kita nggak punya dukungan kuat? Salah besar."
Lila: (mengangguk pelan) "Aku ngerti maksudmu, Don. Tapi aku takut. Jujur aja, aku takut kalau ini bakal bikin semuanya lebih buruk."
Sandi: (memandang kedua temannya) "Takut itu wajar. Aku juga takut. Tapi lebih takut lagi kalau aku sampai tunduk sama mereka. Ini bukan cuma soal kita bertiga, ini soal semua orang yang pernah diperlakukan nggak adil kayak gini. Kalau kita bikin surat itu, kita sama aja kasih mereka kemenangan."
Sejenak suasana kembali hening. Mendung semakin gelap, angin dingin berembus pelan, membawa aroma tanah yang lembap. Penjual kopi menyeka peluh di dahinya sambil tersenyum kecil ke arah mereka.
Doni: (menyandarkan punggung ke batang pohon) "Gini aja. Kita sepakatin satu hal dulu. Kita nggak bakal bikin surat pengunduran diri, apa pun yang terjadi."