Malam itu di sebuah warung kopi sederhana yang terletak tak jauh dari Taman Makam Pahlawan Kalibata, suasana terasa akrab dan santai. Meja-meja kayu berjejer rapi, aroma kopi hitam bercampur asap rokok memenuhi udara. Di sudut ruangan, dua pria duduk saling berhadapan. Mereka adalah Luki, seorang jurnalis lepas dan aktivis peduli desa, dan Sultan, seorang konsultan yang bekerja di Kementerian Desa.
Luki mengaduk kopinya perlahan, memperhatikan Sultan yang tampak serius menyesap rokoknya. "Jadi, Mas Sultan," Luki memulai, "apa kabar soal tenaga pendamping profesional? Saya dengar beberapa teman di lapangan mulai resah."
Sultan menghela napas panjang, meletakkan rokoknya di asbak. "Ah, itu cerita panjang, Mas Luki. Semua bermula dari keluarnya SK perpanjangan kontrak beberapa waktu lalu. Ada yang diperpanjang, ada juga yang tidak, padahal mereka merasa sudah memenuhi semua prosedur."
Luki mengangguk, mencatat sesuatu di buku kecilnya. "Jadi, apa sebenarnya yang jadi masalah utama?"
"Masalahnya kompleks," jawab Sultan. "Proses administrasi di tingkat pusat sering kali tidak sinkron dengan realitas di lapangan. Misalnya, banyak tenaga pendamping yang sudah mengisi SPO, melampirkan CV terbaru, dan memenuhi persyaratan SK 143, tapi tetap saja nama mereka tidak muncul dalam kontrak baru."
"Kenapa bisa begitu?" tanya Luki penasaran.
Sultan menyandarkan tubuhnya, matanya menatap jauh ke arah pintu warung. "Kadang ada kendala teknis, seperti sistem yang eror saat proses unggah data. Keterbatasan anggaran mungkin atau bisa saja ada hal non teknis lain, semoga bukan politis."
"Kalau soal sertifikasi?"
"Iya. Tenaga pendamping profesional sekarang diwajibkan memiliki sertifikat kompetensi tertentu. Tapi pelaksanaannya tidak semudah itu. Misalnya, lembaga sertifikasi yang tersedia belum memadai untuk mengakomodasi ribuan orang dalam waktu singkat. Prosesnya lambat, biayanya tinggi, dan banyak pendamping yang akhirnya terlambat memenuhi syarat."
Luki menyesap kopinya, mencoba mencerna semua informasi yang baru saja ia dengar. "Tapi bukankah seharusnya ada solusi sementara? Maksud saya, apa kementerian tidak memberikan toleransi?"
Sultan tertawa kecil, getir. "Masalahnya, regulasi itu sudah tertulis. PP 43 dan 47, serta Permendes nomor 4 tahun 2023, semuanya menegaskan bahwa tenaga pendamping yang tidak bersertifikat hanya diberi waktu dua tahun sejak peraturan itu berlaku. Artinya, batas akhirnya adalah April tahun ini."