Lihat ke Halaman Asli

Suryo Bambang Sulisto: Indonesia Kurang Probisnis

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemberlakuan berbagai perjanjian perdagangan bebas, yang terbaru
ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA), menimbulkan beragam reaksi dari
kalangan pengusaha. Mereka yang setuju berpendapat, ini peluang yang
harus dimanfaatkan.

Sebaliknya, pihak yang bersuara minor melihat
Indonesia kalah kompetitif ketimbang negara-negara mitranya. Pada saat
yang sama, Indonesia dengan populasi terbesar keempat di dunia dan kaya
sumber daya alam diprediksi sejumlah kalangan bakal menjadi salah satu
negara yang memimpin persaingan ekonomi dunia.

Sayangnya, sejumlah
kendala menghadang. Minimnya infrastruktur dan tingkat suku bunga
seakan memberatkan langkah Indonesia menuju posisi terhormat di kancah
persaingan ekonomi dunia itu.

Terkait hal ini, wartawan Republika ,
Firkah Fansuri dan  Shally Pristine , beserta pewarta foto,  Amin
Madani , mewawancarai Ketua Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan
Industri (Kadin) Indonesia, Suryo Sulisto, akhir pekan lalu.

Bagaimana
Anda menanggapi pro-kontra pemberlakuan ACFTA (ASEAN-China Free Trade
Area)?

Saya melihatnya dari beberapa aspek. Kalau dari sisi kesiapan
untuk berkompetisi, harus diakui produk-produk kita memang kurang
bersaing dengan produk Cina. Misalnya, dari sisi harga, biaya produksi,
dan sebagainya. Di lain pihak, kita harus melihat secara  fair ,
ketidakmampuan atau rendahnya daya saing pengusaha kita.

Alasannya
mengapa?

Dari sisi kemampuan bisnis dan sebagainya, saya kira sudah
cukup baik. Akan tetapi, dari lingkungan  kan tidak  fair karena di
sana (Cina) tingkat suku bunga satu digit dan biaya energi lebih murah.
Infrastruktur juga lebih lengkap sehingga biaya logistiknya lebih
murah. Jadi, mereka memiliki kemampuan bersaing. Kalau memang
keadaannya demikian, pemerintah sebaiknya mengakui kesiapan dalam
negeri belum mampu.Karena itu, kita harus melindungi kepentingan
bersama, yaitu industri dalam negeri. Sebab, kalau tidak,
industri-industri kita akan tutup, pengangguran akan meningkat. Jadi,
seharusnya kita lebih optimal memperjuangkan industri dalam negeri
diberi kesempatan 'bermain' di  level playing fields . Jadi,
lapangannya harus rata  dong ,  nggak bisa lebih tinggi di pihak
pesaing-pesaing kita. Lebih mudah untuk mereka menyerang kita, kita ke
mereka  nanjak gitu kan . Kondisi  level playing fields inilah yang
harus kita ciptakan. Ini bukan tanggung jawab pengusaha saja,
pemerintah secara terus-menerus harus melihat kondisi lapangan di
negara-negara pesaing kita. Jangan defensif saja, harus proaktif
mencoba memperbaiki diri juga.

Dari sisi pemerintah, apakah upaya
perbaikan daya saing sudah maksimal? Belum karena kita bisa lihat dari
kebijakan-kebijakannya.  Masak sih tingkat suku bunga dan tarif pajak
tidak bisa diturunkan?

Mengapa tidak bisa diberikan kemudahan-kemudahan
dalam perizinan? Hal-hal yang seperti itu penting juga diupayakan
semaksimal mungkin. Kita ada dalam satu perahu. Kita harus mengobarkan
semangat  Indonesia Incorporated bahwa daya saing bangsa tanggung jawab
semua komponen. Barangkali, ini memerlukan perubahan pola pikir. Pola
pikir bahwa mungkin tidak ada salahnya kita mengambil sikap. Saya
mengistilahkannya probisnis. Probisnis berarti propertumbuhan ekonomi,
propengentasan kemiskinan. Jadi, probisnis akan membawa manfaat positif
dalam segala bidang, dalam peningkatan pendapatan negara, dan dalam
lapangan kerja.Pola pikir ini perlu dipahami teman-teman kita di
pemerintahan dan DPR. Ciptakan kondisi seatraktif dan sekondusif mungkin.

(file 19 April 2010, Republika)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline