Di tahun politik ini banyak sekali keriuhan yang terjadi di Indonesia. Salah satunya mengenai kebiijakan impor beras yang dilakukan Kementrian Perdagangan. Publik masih ingat saling tuding antara 3 tokoh yang sering disebut media, yaitu Pak Enggar Lukito (Menteri Perdagangan), Pak Budi Waseso (Kepala Bulog) dan Pak Rizal Ramli (Mantan Menko Maritim). Bahkan residu-residu beritanya masih hangat dibahas di media sampai sekarang.
Sebagai mana yang kita ketahui bersama, di era sekarang data menjadi komoditas yang sangat penting. Perbedaan pandangan kebijakan impor tempo hari ditengarai karena beberapa pihak saling meragukan data yang digunakan sebagai pijakan kebijakan. Dalam dunia akademisi perbedaan data bisa menjadi wajar dan dapat ditolerir asal menggunakan metode yang bisa dipertanggungjawabkan. Namun dalam suatu kebijakan negara perbedaan data harus dihilangkan karena menyangkut hajat hidup banyak orang. Ego kementrian mengenai data sudah seharusnya tidak terjadi lagi. Untuk itu, Presiden Jokowi menetapkan BPS sebagai satu-satunya lembaga yang menjadi rujukan kebijakan pemerintah.
Beras sebagai makanan pokok penduduk Indonesia menjadi komoditas penting nasional yang diatur oleh Negara. Gejolak harga, stok, produksi beras yang terjadi di Indonesia sedikit banyak akan memengaruhi tingkat sosial ekonomi masyarakat.
Berdasarkan hasil Susenas 2017 setengah dari pendapat masyarakat dihabiskan untuk membeli bahan makanan yang mana 10 persennya untuk membeli padi-padian (beras). Kenaikan harga sedikit saja pada komoditi beras akan memengaruhi struktur pengeluaran masyarakat dan berimbas pada kemiskinan.
Secara sederhana impor beras terjadi karena stok yang dimiliki tidak mampu memenuhi konsumsi masyarakat. Tapi apakah benar Indonesia yang terkenal dengan negara agraris harus impor beras?
BPS merilis data produksi padi
Sayangnya, dalam dua tahun ke belakang BPS tidak mengeluarkan data produksi padi yang mana seharusnya menjadi data landasan untuk kebijakan impor. Hal ini terpaksa dilakukan karena BPS kala itu sedang memperbaiki metode penghitungan produksi padi yang ditengarai banyak pihak selama ini kurang tepat.
Untuk itu, Wakil Presiden membentuk tim untuk memperbaiki data produksi padi nasional. Wapres menunjuk BPS, Badan Informasi dan Geospasial (BIG), BPPT, Lapan, Kementrian ATR/BPN untuk membuat metode baru penghitungan produksi padi. Setelah beberapa diskusi dengan para peneliti tercestalah metode baru yang dinamai Kerangka Sampel Area (KSA).
Prinsipnya KSA dapat menghitung luas baku sawah menggunakan citra satelit. Sebagai perbandingan, metode lama penghitungan luas panen hanya mengandalkan taksiran petugas pencacah, banyaknya air untuk irigasi dan penggunakan benih. Sedangkan metode baru lebih modern menggunakan citra satelit bersumber dari peta yang dikeluarkan oleh Badan Pertahanan Nasional.
Bertepatan dengan 4 tahun kinerja Jokowi-JK akhirnya Indonesia memiliki data produksi beras yang lebih mutakhir. Hasil KSA mengungkapkan bahwa terjadi penurunan luas baku sawah sebanyak 653.000 ha selama lima tahun ini.
Perlu diketahui dalam pengurangan luas tersebut adalah agregat dari hilangnya sawah akibat konversi lahan dan pencetakan lahan sawah baru oleh pemerintah. Jadi bukan semata-mata lahan sawah berkurang. Tetapi juga sebenarnya pemerintah telah berupaya mencetak sawah baru.