Lihat ke Halaman Asli

Mengeliminasi Perundungan dan Kekerasan di Sekolah

Diperbarui: 17 Juli 2024   12:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Deklarasi Sekolah Bebas Perundungan dan Kekerasan (Sumber : dokpri)

Pada bulan Mei 2024, sebuah tayangan di televisi mengabarkan terjadinya kisah perundungan (bullying) yang terjadi pada seorang siswi SMP. Dalam tayangan tersebut, siswi SMP dari salah satu sekolah dijambak hijabnya kemudian dipukuli oleh siswi dari sekolah lain. Sungguh membuat miris atas kejadian tersebut.  Kasus siswa yang harus mendapatkan perawatan di rumah sakit dan trauma sehingga takut untuk keluar rumah, akibat ulah "Geng Tai" di sekolah bergengsi. Kejadian bullying ini viral, karena melibatkan anak seorang artis. 

Ironisnya, kasus bullying sesama siswa di sekolah baru akan terungkap ke permukaan dan ditangani serius apabila sudah menelan korban. Menurut data yang dirilis oleh Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA), kasus kekerasan terhadap anak mencapai 1.993 pada januari - februari 2024. 

Banyaknya kasus perundungan dan kekerasan pada anak yang terjadi di sekolah menjadi perhatian serius pemerintah. Dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan teknologi (Permendikbud ristek) nomor 46 tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan menjadi angin segar untuk melindungi siswa agar dapat belajar lebih aman, nyaman dan menyenangkan. Diperlukan peran dari berbagai pihak untuk memutus rantai perundungan di sekolah, mulai dari guru, orang tua, komite sekolah dan pemerintah. 

Faktor Pemicu

Dunia digital yang dekat dengan siswa membuat dilema etik yang harus diwaspadai oleh guru dan orang tua. Seolah-olah menjadi dua mata pisau yang tajam. Tidak jarang orang tua yang membelikan anaknya sebuah smartphone untuk keperluan komunikasi dan belajar. Tetapi dibalik sisi positifnya, dampak pengiring negatif terus mengintai. Tatkala sosial media yang discroll anak, menampilkan tindak kekerasan dan saling menghujat antar sesama. 

Lama-kelamaan perilaku bullying yang sering dilihat pada sosial media akan menjadi pembenaran untuk melakukan tindak kekerasan.  Selain pengaruh sosial media, tindak kekerasan dan bullying terjadi bila ada relasi kuasa antara junior dan senior. Dimana, senior yang merasa lebih jumawa akan menindas dengan semena-mena juniornya dan mengkultuskannya. 

Langkah Pencegahan dan Penanganan

Untuk mengeliminasi tindak kekerasan dan perundungan di sekolah, diperlukan langkah-langkah preventif dan kuratif. Pada awal masuk sekolah, saat Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) merupakan momen untuk mensosialisasikan dan mendeklarasikan sekolah anti kekerasan dan perundungan, dimana semua siswa dan guru membuat komitmen bersama untuk mencegah terjadinya tindakan bullying dan kekerasan. 

Sosialisasi bahaya bullying, bisa berupa poster, kampanye dan motivasi dari guru. Langkah selanjutnya setiap satu minggu sekali diadakan upacara bendera yang dilaksanakan setiap senin. Selalu diingatkan mengenai bahayanya bullying, baik itu secara fisik, psikis dan verbal.  Saat pembelajaran, awal semester membuat kesepakatan kelas bersama siswa yang menuangkan salah satu poinnya untuk tidak melakukan ejekan, candaan yang berlebihan dan kekerasan. Bentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Perundungan dan Kekerasan (TPPK di sekolah, hal ini untuk mengkoordinasikan tindakan yang harus dilakukan baik itu secara internal maupun lintas sektoral. 

Peserta MPLS Sedang Menandatangai Komitmen (sumber : dokpri)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline