Lihat ke Halaman Asli

Surtini Hadi

kebermanfaatan

Perempuan Belum Merdeka

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam konteks perempuan, faktanya hambatan untuk merdeka lebih besar dan bertingkat-tingkat dibandingkan laki-laki. Satu dari sekian yang masih membuat perempuan belum merdeka sampai saat ini adalah banyaknya ketidakadilan gender yang dialaminya.

Menurut Mansour Faqih hal tersebut termanifestasi dalam lima bentuk. Kekerasan (violence) dalam kehidupan social, pelabelan negative (stereotype) dalam kehidupan budaya, penomerduaan (sub ordinasi) dalam kehidupan politik, pemiskinan (marginalisasi) dalam kehidupan ekonomi dan beban ganda (double burden) dalam kehidupan keluarga. Alih-alih mempunyai pilihan bebas, yang ada adalah eksploitasi yang menindas perempuan.

Balenky dkk membedakan lima tahapan/kategori epistomologis perspektif perempuan, yakni kebisuan (silence), pengetahuan yang diterima (received knowledge), pengetahuan yang subyektif (subyective knowledge), pengetahuan prosedural (procedural knowledge) dan pengetahuan yang terkonstruksi (constructed knowledge) (Tita Marlita, 2000 : 538).

Tak sedikit perempuan yang masih masuk dalam kategori kebisuan. Dalam tahapan ini perempuan adalah silent knower, bersifat pasif, reaktif dan tunduk pada sosok otoritas yang dalam pandangannya berkuasa dan dominan. Artinya, perempuan akan menerima stereotip yang berlaku dalam masyarakat dan dikekalkan oleh budaya.

Semua memang tidak jatuh di ruang kosong, posisi perempuan yang tidak menguntungkan telah didesain dan dilanggengkan bertahun-tahun, dari rezim ke rezim. Bahkan, naskah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia(DUHAM) dulunya, saat mengacu pada subyek HAM tidak menggunakan kata “ all human being”(semua orang), “everyone”(setiap orang) dan “no one”( melainkan dengan istilah “all men”(semua laki-laki), “every man”(setiap lelaki), “dan “ no men”(tidak seorang lelaki pun).

Konsep berpikir bahwa perempuan adalah the second class persons, sudah sangat mengakar dalam kehidupan masyarakat. Menjadi sangat wajar, jika kemudian muncul stereotype yang menyudutkan (misoginis) perempuan. Selanjutnya, apabila ada perempuan yang menuntut hak atas eksistensinya sebagai manusia- sudah tentu ada ketidakrelaan dan ketakutan akan hilangnya kekuasaan atau dominasi laki-laki terhadap perempuan.

Dalam konteks Indonesia, sebagai negara yang telah meratifikasi Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita melalui UU No. 7 tahun 1984 dan menyatakan komitmennya untuk ikut mengimplementasikan salah satu area kritis yang tertuang dalam Deklarasi Beijing Tahun 1995, berupa jaminan bagi akses perempuan untuk berpartisipasi dalam institusi pengambilan keputusan masih memperlakukan peren perempuan sebatas “charity” daripada sebuah “political will”. Negara telah mengadopsi konsep patriarkhi yang dilegitimasi oleh agama, adat kebiasaan dan tradisi dalam bentuk kebijakan negara.

Ketika sekitar tahun 2000, dimunculkan isu kuota 30% perempuan di parlemen, banyak pihak mengajukan keberatannya. Alasan yang dikemukakan diantaranya adalah kuota 30% bagi perempuan merupakan sebuah bentuk baru diskriminasi. Selain itu, hal tersebut menunjukkan bahwa perempuian selalu minta dikasihani; dengan meminta jatah kursi tanpa usaha.

Alasan tadi tidak bisa dilepaskan dari pola berpikir masyarakat yang menganggap bahwa perempuan bukanlah warga negara. Dalam masyarakat yang didominasi laki-laki(male dominated societes), masih kental dengan dikotomi laki-laki dan perempuan. Jadi, kuota 30% perempuan di parlemen jelas merupakan permasalahan perempuan yang meminta belas kasihan kepada laki-laki, bukan permasalahan warga negara yang menuntut haknya.

Akibatnya adalah semua yang serba”setengah hati”. Padahal jika bicara kuota yang dibangun sebagai “gender-netral” berarti kuota bertujuan mengoreksi kurang terwakilinya baik perempuan maupun laki-laki. Kuota membantu laki-laki dalam posisi pasti yang kemungkinan digunakan di sektor-sektor yang wakil perempuannya berlimpah.

Saya jadi teringat kata-kata bijak seorang feminis perancis, Anne Leclerc: “ saya tak pernah memahami keberpihakan saya kepada kaum perempuan sebagai suatu pernyataan perang terhadap laki-laki”.

Ya, setidaknya ini dapat menyadarkan kita bahwa – meminjam istilah Tari Siwi Utami- dibutuhkan tekad baik(good will) dari kedua pihak (laki-laki dan perempua) untuk saling bersanding dalam hubungan kesederajatan dan kemitraan tanpa prasangka jender. Demi perbaikan nasib perempuan yang merupakan separuh dari penduduk dunia dan ibu dari setengahnya lagi. Salam setengah merdeka.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline