Lihat ke Halaman Asli

Traveller ala Kita

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Berterima kasihlah pada maskapai dalam kategori  low cost airfare. Karena jasa mereka, mobilitas  antar pulau lebih mudah dan terjangkau. Dua dekade sebelumnya,   bepergian dengan burung besi  hanya bisa dilakukan oleh pemilik uang banyak. Meskipun  kabar-kabarnya, penerbangan murah akan ditiadakan. Menyusul evaluasi terhadap efesiensi biaya penerbangan dikaitkan dengan  prosedur standar keselamatan. Usai  beberapa insiden penerbangan lalu.  Kabar baiknya, nampaknya harga tiket  masih relatif  bisa dijangkau hingga saat ini.

Di Jawa,  transportasi darat dengan kereta semakin nyaman tertata. Lainnya, jumlah  bus antar kota juga membanyak. Untuk tujuan yang  masih bisa dicapai dengan moda transportasi ini.

Ya, ini cerita tentang pergerakan manusia secara temporer dalam waktu relatif singkat dari satu tempat    ke tempat lain. Sebutlah ia  perjalanan atautravelling.  Sejak mobilitas manusia semakin mudah, travelling diserap jadi kosa  kata yang familiar.  Menarik   untuk mengamati  perilaku  khas traveller kita.

Travelling bukan saja dilakukan karena  memang harus bepergian karena satu kepentingan ditempat lain.  Untuk perjalanan dinas atau kepentingan terkait keluarga. Lebih jauh,    menjadi gaya hidup.

Hari gini, banyak orang merencanakan  bepergian secara sengaja. Untuk melancong, menyambangi  destinasi  yang dituju. Media  berperan memberikan informasi mengenai  tujuan  dan obyek yang bisa dinikmati oleh indera manusia. Mudah diakses untuk dipelajari. Daya tarik satu tempat bisa berupa  bangunan,  kekayaan kuliner, alam  atau sejarah dan tradisinya.    Seperti menggoda untuk menjejakkan kaki diatas tanahnya.

Travelling benar mengandung nilai positif. Menginjak tempat yang berbeda memberi  pengalaman  batin baru.  Tidak saja berarti beroleh pengetahuan dan wawasan  baru.  Namun mengajarkan tentang  ragam perbedaan. Jika kita pandai memetik  hikmah, akan membuat meningkatkan rasa empati, respek dan rasa syukur akan apa yang kita punya.

Setelah menjadi  gaya hidup,  kecenderungan tipe   traveller  Indonesia sangat khas.  Inilah traveller ala kita.

Tipe pertama, adalah overseas minded . Melancong keluar negeri dianggap lebih  punya gengsi ketimbang  menyambangi destinasi domestik. Padahal Indonesia membentang dari Sabang sampai Merauke.  Tidak kurang banyak dan tidak kurang  bagusnya.  Tinggal menentukan tujuan dan ketertarikan khusus nya pada obyek tertentu.  Berani bertaruh ,  lebih banyak orang Indonesia yang sudah meninjakkan kaki ke Singapura atau Bangkok. Ketimbang bertandang ke Singkawang atau Flores.    Banyak dalih, karena tiket domestik sering lebih mahal. Padahal, biaya melancong ke mancanegara  diluar tiket, bisa berlipat-berlipat.   Percayalah, mereka yang sudah  bertualang ke banyak tempat, akan bilang kalau Indonesia jauh lebih indah.

Tipe kedua,  mereka yang ingin disebut  backpacker. Terminologibackpacker jadi sangat populer.  Semua ingin  menjadi   backpacker.   Atau merasa diri backpacker.   Terdengar gagah ditelinga. Padahal backpacking bermakna lebih luas dalam konteks perjalanan. Bukan sekedar menyandang ransel,  tapi juga menekan tingkat kenyamanan pada level minimal dengan anggaran terbatas. Sekedar bisa sampai ditujuan atau bisa punya tempat untuk tidur.  Diluar itu,  backpacking berbeda dari turis pada umumnya  karena  keleluasaan jadwal dan motivasi untuk belajar hal baru dari perjalanan melalui rute  atau tujuan yang seringkali tidak biasa.  Jelas, bukan perjalanan yang   terorganisir  sangat rapi dengan itinerary yang ketat.

Tipe ketiga,  para pengunggah perjalanan. Media jaringan sosial maya sedikit banyak mempengaruhi  gaya perjalanan.  Banyak traveller merasa merasa perlu mengumumkan kepada khalayak mengenai keberadaannya. Lewat teks atau gambar diri berlatar belakang landmark lokasi perjalanan yang diunggah.  Ada kebanggaan tersurat didalamnya.   Belum juga usai mendalami   obyek  perjalanan,   keberadaan sudah dipublikasi luas. Bukan soal salah atau benar, baik atau buruk . Ini sih soal pilihan saja. Mau memilih gaya travelling seperti apa.   Sayang saja, jika  berfoto di landmark saja  dirasa sudah  cukup.   Ayolah, travelling  lebih dari  berfoto di landmark dan mengunggahnya.

Tipe keempat, pemburu jumlah. . “Prestasi” perjalanan, sering dihitung dengan panjangnya daftar kota yang dikunjungi.  Kebanggaan diukur dari banyaknya tempat. Padahal sejatinya,  bukan soal berapa banyak, tapi berapa dalam traveller mengenal   dan mendalami kekhasan satu tempat. Untunglah, belakangan ini, berkembang arus baru dalam  komunitas peminat perjalanan. Dimana,  jaringan komunitas pejalan  bisa memilih untuk tidak lagi tinggal dihotel, namun bisa memiiki alternatif untuk ikut tinggal bersama dengan penyedia jasa penginapan non-reguler. Umumnya penduduk lokal, yang menawarkan tempat tinggalnya untuk diinapi. Sekaligus menawarakan kesempatan untuk  mendalami  dinamika keseharian masyarakat lokal.  Selain itu, proses perjalanan sendiri menjadi satu bagian penting.  Untuk   belajar mengelola diri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline