Lihat ke Halaman Asli

Para Pemberang di Kereta Rel Listrik

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Cerita tentang ketidaknyamanan transportasi publik di Jakarta , bukan  baru lagi.  Sudah banyak dibahas dan dikeluhkan. Di Jakarta,  kendaraan umum dipilih, bukan saja  karena harganya ekonomis. Tapi  seringkali  demi menghemat waktu dan tenaga.  Bayangkan berapa banyak waktu yang dihabiskan untuk berkendara dari pinggiran Jakarta – konsentrasi tempat tinggal,   menuju pusat kota. Menembus kemacetan. Belum lagi rasa lelah dan tekanan psikis yang ditimbulkan akibat macet. Sangat menguji kesabaran.


Kereta Rel Listrik (KRL)  merupakan salah satu moda transportasi yang banyak dipiilih. Jangkauannya luas, hingga Serpong, Depok, Bogor atau Bekasi menuju jantung bisnis Ibukota. Menurut catatan, jumlah penggunanya (lazim disebut komuter)  mencapai angka 750 ribu penumpang perhari dari 678 perjalanan KRL per hari (PT. KAI,2014).


Beberapa tahun belakangan, PT. KAI – otoritas pengelola perkeretapian gencar membenahi sistem dan infrastukturnya. Harus diakui,  dari dua sisi tersebut, kondisinya terus  membaik.  Jauh lebih teratur dengan fasilitas pendukung yang diperbarui. Seperti  renovasi peron, sistem informasi, perbaikan sistem ticketing, meningkatkat kebersihan , penambahan jadwal dan penggantian   kereta dan sederet lagi langkah  pembenahan. Gerbong kereta normalnya sudah jauh lebih nyaman dengan mesin pendingin.


Sayangnya,  dari sisi  lain, laju penambahan penumpang  belum mampu diimbangi oleh   kapasitas angkut KRL.  Terutama pada jam puncak, dipagi dan sore hari. Manusia masih berjejalan dalam gerbong-gerbong KRL. Sisanya memenuhi semua sudut peron. Menunggu untuk diangkut. Jam masuk kerja yang relatif bersamaan, umumnya dipusat kota, membuat calon penumpang tumpah  di jam yang sama.


Hanya segelintir kecil yang bisa menikmati kemewahan duduk dibangku empuk. Sisanya meregang urat betis, berdiri bersama penumpang lain. Saking padatnya, tidak ada lagi jarak diantara para penumpang. Pantat bertemu pantat. Lengan bertemu siku. Dada menekan punggung penumpang  lain.  Barang bawaan saling menekan.  Begitu semuanya.


Bayangkan  rasa risih  wanita  yang berada ditengah  penumpang laki-laki. Pikirkan juga rentannya pelecehan seksual  terjadi di  gerbong kereta. Dua gerbong khusus perempuan yang disediakan. , tidak  sebanding dengan jumlah penumpang perempuan


Standar kenyamanan sudah ditekan pada titik terendah. Sebatas, agar sampai tepat waktu ditujuan. Padahal ,  sebagian besar merupakan kelas menengah. Ditilik dari setelan dan gawai yang digenggam. Apa daya, sudah terlanjur berumah dipinggiran Jakarta.  Lokasi  perumahan yang bisa terjangkau dengan fasilitas dana kredit. Mungkin juga karena motif lain. Seperti udara segar dan  air   tanah yang  berlimpah dan layak konsumsi yang dikejar.


Dalam situasi berhimpitan tanpa jarak dengan manusia lain, banyak macam perasaan bercampur aduk. Capek pasti. Sangat  menguras tenaga. Sejak berjuang untuk bisa  masuk dalam gerbong, terdorong dan mendorong untuk bisa masuk dalam gerbong  hingga berdiri dalam ruang sempit. Sampai tiba di tujuan.  Muncul juga kesan  betapa manusia tidak berarti. Cuma jadi bagian dari ribuan manusia lain. Satu orang bukanlah siapa-siapa. Seperti sejumput pasir dipantai.


Suasana psikologis para penumpang   sebagian besar seragam. Semuanya berusaha untuk tiba ditempat kerja tepat waktu. Mungkin pula, sebagian sudah membayangkan  sejumlah daftar pekerjaan dikepalanya dan masalah domestik masing-masing. Ditambah dengan rasa tidak nyaman dihimpitan penumpang . Tidak jarang, ada tambahan faktor yang menambah parah ketidakyamanan. Sepeti mesin pendingin udara yang tidak bekerja  atau gangguan jadwal kereta.


Situasi psikologis seperti demikian membuat sikap penumpang kereta juga khas. Nampak sekali sikap individualitas nya. Berusaha melindungi kepentingan diri sendiri. Kehilangan empati. Sudah tidak aneh lagi melihat penumpang marah bahkan mengumpat pada penumpang lain. Untuk macam-macam alasan seperti dianggap  salah menempatkan posisi tubuh atau barang bawaan. Sehingga  si penumpang lain merasa terganggu. Tidak sekali dua, pertengkaran terjadi antar penumpang. Saling berbalas umpatan. Bahkan hingga menjurus pada kontak fisik. Entahlah, mungkin naluri dasar  pertahanan diri manusia memang demikian.


Kasus lain, empati hilang terhadap penumpang yang seharusnya mendapat prioritas. Seperti Ibu yang membawa balita , orang tua dan Ibu hamil. Penumpang yang sudah merasa nyaman posisi duduknya, nampak tidak peduli. Kadang-kadang modusnya dengan pura-pura  tertidur. Meskipun biasanya, diingatkan oleh penumpang lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline