Cerita tentang ketidaknyamanan transportasi publik di Jakarta , bukan baru lagi. Sudah banyak dibahas dan dikeluhkan. Di Jakarta, kendaraan umum dipilih, bukan saja karena harganya ekonomis. Tapi seringkali demi menghemat waktu dan tenaga. Bayangkan berapa banyak waktu yang dihabiskan untuk berkendara dari pinggiran Jakarta – konsentrasi tempat tinggal, menuju pusat kota. Menembus kemacetan. Belum lagi rasa lelah dan tekanan psikis yang ditimbulkan akibat macet. Sangat menguji kesabaran.
Kereta Rel Listrik (KRL) merupakan salah satu moda transportasi yang banyak dipiilih. Jangkauannya luas, hingga Serpong, Depok, Bogor atau Bekasi menuju jantung bisnis Ibukota. Menurut catatan, jumlah penggunanya (lazim disebut komuter) mencapai angka 750 ribu penumpang perhari dari 678 perjalanan KRL per hari (PT. KAI,2014).
Beberapa tahun belakangan, PT. KAI – otoritas pengelola perkeretapian gencar membenahi sistem dan infrastukturnya. Harus diakui, dari dua sisi tersebut, kondisinya terus membaik. Jauh lebih teratur dengan fasilitas pendukung yang diperbarui. Seperti renovasi peron, sistem informasi, perbaikan sistem ticketing, meningkatkat kebersihan , penambahan jadwal dan penggantian kereta dan sederet lagi langkah pembenahan. Gerbong kereta normalnya sudah jauh lebih nyaman dengan mesin pendingin.
Sayangnya, dari sisi lain, laju penambahan penumpang belum mampu diimbangi oleh kapasitas angkut KRL. Terutama pada jam puncak, dipagi dan sore hari. Manusia masih berjejalan dalam gerbong-gerbong KRL. Sisanya memenuhi semua sudut peron. Menunggu untuk diangkut. Jam masuk kerja yang relatif bersamaan, umumnya dipusat kota, membuat calon penumpang tumpah di jam yang sama.
Hanya segelintir kecil yang bisa menikmati kemewahan duduk dibangku empuk. Sisanya meregang urat betis, berdiri bersama penumpang lain. Saking padatnya, tidak ada lagi jarak diantara para penumpang. Pantat bertemu pantat. Lengan bertemu siku. Dada menekan punggung penumpang lain. Barang bawaan saling menekan. Begitu semuanya.
Bayangkan rasa risih wanita yang berada ditengah penumpang laki-laki. Pikirkan juga rentannya pelecehan seksual terjadi di gerbong kereta. Dua gerbong khusus perempuan yang disediakan. , tidak sebanding dengan jumlah penumpang perempuan
Standar kenyamanan sudah ditekan pada titik terendah. Sebatas, agar sampai tepat waktu ditujuan. Padahal , sebagian besar merupakan kelas menengah. Ditilik dari setelan dan gawai yang digenggam. Apa daya, sudah terlanjur berumah dipinggiran Jakarta. Lokasi perumahan yang bisa terjangkau dengan fasilitas dana kredit. Mungkin juga karena motif lain. Seperti udara segar dan air tanah yang berlimpah dan layak konsumsi yang dikejar.
Dalam situasi berhimpitan tanpa jarak dengan manusia lain, banyak macam perasaan bercampur aduk. Capek pasti. Sangat menguras tenaga. Sejak berjuang untuk bisa masuk dalam gerbong, terdorong dan mendorong untuk bisa masuk dalam gerbong hingga berdiri dalam ruang sempit. Sampai tiba di tujuan. Muncul juga kesan betapa manusia tidak berarti. Cuma jadi bagian dari ribuan manusia lain. Satu orang bukanlah siapa-siapa. Seperti sejumput pasir dipantai.
Suasana psikologis para penumpang sebagian besar seragam. Semuanya berusaha untuk tiba ditempat kerja tepat waktu. Mungkin pula, sebagian sudah membayangkan sejumlah daftar pekerjaan dikepalanya dan masalah domestik masing-masing. Ditambah dengan rasa tidak nyaman dihimpitan penumpang . Tidak jarang, ada tambahan faktor yang menambah parah ketidakyamanan. Sepeti mesin pendingin udara yang tidak bekerja atau gangguan jadwal kereta.
Situasi psikologis seperti demikian membuat sikap penumpang kereta juga khas. Nampak sekali sikap individualitas nya. Berusaha melindungi kepentingan diri sendiri. Kehilangan empati. Sudah tidak aneh lagi melihat penumpang marah bahkan mengumpat pada penumpang lain. Untuk macam-macam alasan seperti dianggap salah menempatkan posisi tubuh atau barang bawaan. Sehingga si penumpang lain merasa terganggu. Tidak sekali dua, pertengkaran terjadi antar penumpang. Saling berbalas umpatan. Bahkan hingga menjurus pada kontak fisik. Entahlah, mungkin naluri dasar pertahanan diri manusia memang demikian.
Kasus lain, empati hilang terhadap penumpang yang seharusnya mendapat prioritas. Seperti Ibu yang membawa balita , orang tua dan Ibu hamil. Penumpang yang sudah merasa nyaman posisi duduknya, nampak tidak peduli. Kadang-kadang modusnya dengan pura-pura tertidur. Meskipun biasanya, diingatkan oleh penumpang lain.