[caption id="attachment_404959" align="aligncenter" width="620" caption="Raja Dangdut Rhoma Irama/Kompasiana(kompas.com)"][/caption]
Dangdut adalah genre musik otentik Indonesia. Meskipun sejatinya mengadopsi rupa-rupa aliran. Terutama musik Hindustan, Arab dan Melayu. Perpaduan semuanya, melahirkan cengkok dangdut Indonesia. Dahulu, dangdut identik sebagai musik kelas bawah . Banyak cap miring dipasangkan. Sebut saja cap sebagai musik kampungan, norak dan seronok. Penyuka dangdut banyak diolok-olok. Meskipun, diam-diam, alam bawah sadar sebagian besar orang, menikmati hentakannya. Sensasi seperti hendak berjoged, efek dari tabuhan gendang dan alunan seruling.
Belakangan, dangdut semakin mendapatkan tempatnya. Citra nya sedikit bergeser. Naik kelas. Meskipun sebagian kecil, masih malu-malu mengakui kesukaannya pada musik dangdut. Padahal jempol tangan dan kaki bergoyang, tidak bisa berbohong. Media , terutama televisi membuka peluang bagi musik dangdut untuk terus berkembang memperluas pasar nya.
Suka tidak suka, harus diakui, musik dangdut memang membius. Coba tanya diri sendiri, jenis musik mana yang mampu mengumpulkan massa terbanyak karena daya tariknya. Dangdut pastinya. Kampanye partai politik, kenduri dan peristiwa lain yang bermaksud memancing kerumunan orang banyak, pasti nya menggunakan musik dangdut sebagai pengundang massa.
Dangdut memiliki keunggulan karena kelenturannya untuk dikawinkan dengan berbagai genre musik lain. Maka muncullah sub-aliran seperti rock dangdut, pop dangdut dan disko dangdut atau kerap disebut house music. Di zaman setelahnya, dangdut terus berevolusi. Sesudahnya, dikenal dangdut campursari - pencampuran dangdut dengan elemen bunyi-bunyian tradisional. dengan Di Pantura, muncul sub-aliran dangdut yang disebut dangdut koplo – jenis yang menonjolkan semakin menonjolkan unsur tradisional dalam iramanya.
Konon, musik dangdut mulai bertumbuh di tahun 1940-an. Saat musik melayu mulai diperkenalkan. Namun baru mendapatkan formula yang pas sekitar akhir tahun 1960-an hingga awal 1970. Saat itu, siapa tak kenal nama-nama besar sperti A. Rafiq, Rhoma Irama, Elvie Sukaesih, Mansyur S dan sederet nama lainnya.
Di era 1980-an , sebutlah Meggi Z, Evi Tamala, Itje Tresnawati dan Ikke Nurjannah sebagai jajaran baris pertama pelantunnya. Menyusul, bintang dangdut 1990 an seperti Cici Paramida dan Iis Dahlia . Inul Daratista dan Dewi Persik adalah dua nama yang mewakili generasi dangdut awal 2000-an.
Setelah itu , dangdut melaju tak terbendung. Daftar biduannya, semakin panjang. Jadi sulit menyebut nama yang menonjol. Begitu banyaknya nama. Berbagai kontes, melahirkan pedendang dangdut anyar.
Bersamaan merebaknya pelantun dangdut, variasi dangdut semakin beragam. Dari banyak sisi. Dangdut tidak lagi identik dengan baju dan gaun tebal, panjang, berenda, berlapis-lapis dengan gaya busana berlebihan. Tapi satu hal yang tetap sama, dangdut mesti dipasangkan dengan gerakan joged. Dangdut pasti berjoged Sebaliknya joged pasti menyertai dangdut. Demikian benang merah dangdut dari zaman ke zaman.
Perihal joged berjoged ini unik. Sebelum 1980 an, gerakan berjoged nyaris seragam. Meskipun beberapa pelantun, dikenal dengan ciri khas nya. Katakanlah Rhoma Irama bersama pasukan bergitarnya dibawah bendera Soneta Grup. Siapa tak kenal petikan gitar dengan gerakan menukik, ngikk. Jadi ikon sekaligus legenda pada zamannya.
Semakin kemari, gerakan joged semakin bervariasi. Bisa jadi karena persaingan diantara bintang muda. Pelantun dangdut usia muda banyak bermunculan. Tidak lagi dibedakan kelasnya dengan biduan genre musik lain. Sama-sama muncul menjadi idola baru.