Lihat ke Halaman Asli

Kenapa Buruh Pada Demo Teruss, Sih?

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Demo lagi Demo buruh senantiasa menjadi momok bagi para Pengusaha. Dalam Tempo.co dikatakan bahwa APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia) merasa frustasi dengan aksi mereka. Buruh menuntut kenaikan UMR (Upah Minimum Regional) sampai dengan 3,7 juta rupiah. Menurut pihak pengusaha maupun pekerja yang non-buruh tuntutan tersebut tidaklah masuk akal karena dinilai terlalu tinggi. Pengusaha berpendapat bahwa UMR buruh saat ini sudah dapat mencukupi kebutuhan buruh berdasarkan perhitungan pengusaha. Di lain pihak, buruh merasa yang dinamakan cukup adalah ketika mereka bisa membeli motor, memiliki handphone android dan perangkat canggih lainnya. Tuntutan yang tidak masuk akal tersebut kemudian dianggap sebagai suatu hal yang negatif dan merugikan. Dari kasus perburuhan tersebut orang bisa tidak objektif dalam melihat permasalahan karena orang sering jatuh pada bias kepentingan. Apabila seseorang sebagai pihak pemilik pabrik maka akan cenderung melihat sebagai hal yang negatif. Lantas, seseorang yang berada di posisi buruh akan cenderung menganggap apa yang dilakukan mereka adalah hal yang seharusnya mereka laksanakan. Maka penting untuk melihat permasalahan itu secara radikal dengan bertumpu pada cara pikir yang melandasi terjadinya fenomena tersebut.

Fenomena perburuhan tidak hanya mengenai masalah besar kecilnya upah saja, tetapi lebih pada masalah sistem ekonomi dimana buruh itu berada. Buruh hidup di negara yang bercorak kapitalis. Sistem ekonomi kapitalis mengeksploitasi mereka. Buruh dijadikan sarana untuk meningkatkan modal dan keuntungan. Dalam mencapai keuntungan semaksimal mungkin, seringkali buruhlah yang dikorbankan, dikala faktor produksi yang lain terganggu. Kondisi tersebut menimbulkan ketidakadilan bagi kaum buruh. Oleh karenanya, saya berpendapat bahwa sistem ekonomi kapitalis tidak memanusiakan manusia dalam artian bahwa sistem itu telah memberi peluang bagi seseorang untuk menindas orang lain. Akibat adanya penindasan itu adalah hilangnya kebebasan individu oleh individu lain. Dalam hal ini, penindasan bukanlah karena hakikat manusia adalah serigala bagi sesamanya, seperti yang Thomas Hobbes sampaikan, tetapi karena sistem ekonomilah yang menciptakan manusia-manusia semacam itu. Manusia sendiri adalah makhluk sosial. Ia adalah “homo homini socius”, sahabat bagi sesamanya. Lantas, saya berpandangan bahwa manusia bukanlah terdiri dari pengada yang bersifat masokis melainkan pengada yang merindukan kesamaan dan keadilan. Setiap bentuk ketidakadilan akan menimbulkan perlawanan. Dengan demikian dalam kasus buruh tersebut, perlawanan terhadap pemilik pabrik adalah suatu keniscayaan. 1.Eksploitasi sebagai ketidakadilan Pemikiran Karl-Marx penulis jadikan landasan untuk mendukung tesis yang pertama yakni bahwa buruh telah dieksploitasi dalam sistem ekonomi kapitalis. Hal tersebut tampak dalam ajarannya mengenai nilai lebih. Ajaran tentang nilai lebih terdiri atas empat subteori yakni teori mengenai nilai pekerjaan, nilai tenaga kerja, teori nilai lebih dan teori mengenai laba. Teori nilai pekerjaan hendak menjawab pertanyaan bagaimana nilai ekonomis sebuah komoditas dapat ditentukan secara objektif. Sebelumnya perlu diketahui mengenai istilah nilai pakai dan nilai tukar. Nilai pakai adalah nilai barang diukur dari kegunaannya untuk memenuhi kebutuhan tertentu, sehingga besar kecilnya nilai barang tergantung seberapa bergunanya barang itu bagi konsumen akhir. Sedangkan nilai tukar adalah nilai barang apabila diperjual-belikan di pasar. Sebagai contoh piring dan gelas mempunyai nilai tukar sama yakni Rp. 10.000,-.  Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana piring dan gelas yang merupakan barang yang berbeda bisa mempunyai nilai tukar yang sama? Kenapa satu piring sama dengan satu gelas? Kenapa tidak satu piring sama dengan dua gelas? Bagi Marx yang menentukan nilai tukar adalah waktu kerja yang dibutuhkan untuk menciptakan barang tersebut. Dengannya komoditas mendapatkan nilai objektifnya. Lantas nilai tenaga kerja/buruh dalam sistem ekonomi kapitalis ditentukan dengan cara yang sama dengan komoditas. Nilai tenaga kerja ditentukan oleh jumlah pekerjaan yang perlu untuk menciptakannya. Dalam hal ini, nilai tenaga kerja adalah jumlah nilai semua komoditi yang perlu dibeli buruh untuk dapat bertahan hidup. Sebagai contoh untuk bertahan hidup buruh perlu makanan, pakaian, tempat tinggal, rekreasi, dll. Semuanya itu adalah nilai tenaga kerja buruh. Lebih lanjut, menurut marx upah yang diterima buruh dianggap adil dalam arti bahwa transaksi antara majikan dan buruh merupakan transaksi yang ekuivalen. Kemudian darimana majikan mendapatkan labanya? Jawabannya adalah dari nilai lebih. Yang dimaksud dengan nilai lebih adalah sisa jam kerja buruh untuk menghasilkan komoditas yang sama dengan upahnya. Misal: upah buruh  Rp. 100.000 ribu per/hari, sehari ia bekerja delapan jam. Katakanlah untuk mendapatkan nilai RP. 100.000 ribu bagi majikannya ternyata buruh hanya perlu waktu 4 jam saja, sehingga masih ada sisa 4 jam kerja. Akan tetapi, sisa 4 jam tadi telah “dibeli” oleh majikan. Sisa jam kerja itulah nilai lebih sebagai sumber keuntungan satu-satunya majikan kapitalis. Dari paparan diatas, dengan demikian sistem ekonomi kapitalis adalah sistem yang menghasilkan keuntungan dari nilai lebih yang diciptakan oleh buruh dengan pekerjaannya yang tidak dibayarkannya kepadanya. Dalam kasus buruh yang diangkat oleh penulis, aksi buruh tersebut hanya menuntut upah sesuai dengan standar hidup untuk memulihkan tenaga kerjanya saja. Sesuai dengan pandangan Marx mengenai nilai lebih tersebut, mereka tidak hanya tidak memperoleh “pertukaran yang ekuivalen” atas tenaganya, tetapi sebenarnya mereka telah diperalat (dieksploitasi) untuk memperoleh keuntungan yang adalah hak mereka. Dari gagasan itulah mengapa penulis berpendapat bahwa buruh telah diperlakukan tidak adil. Terdapat beberapa sanggahan mengenai teori Marx tersebut. Pertama, dalam karya seni, misalnya lukisan, nilai tukar komoditas tidak hanya ditentukan oleh pekerjaan yang masuk dalam penciptaannya. Minat dan hasrat seseorang akan komoditas, nilai pakai, jadi guna barang turut menentukan nilainya. Kedua, dewasa ini peran manusia/buruh digantikan oleh mesin atau robot dalam proses produksi. Manusia bukan pembuat barang melainkan hanya sebagai controler dari mesin atau robot yang beroperasi. Dengan demikian apakah nilai produk masih dapat ditentukan oleh pekerjaan manusia? Ketiga, dalam proses produksi terdapat pihak-pihak yang berperan secara tidak langsung dalam proses produksi, misal: manajer, bagian keuangan, office boy, pembersih WC, dll. Lantas, apakah benar bahwa nilai hanya ditentukan pekerjaan tangan secara langsung? Menurut hemat saya, sanggahan pertama dapat dijawab bahwa para pelukis tidak ikut dalam arus kapitalisme. Mengapa? Karena pelukis adalah pekerja sekaligus pemilik hasil produksinya, sehingga ia yang menentukan nilai bagi produknya. Sehingga nilai lukisan nanti adalah hasil dari kesepakatan antara pencipta dengan pembelinya. Jawaban pertanyaan kedua telah diantisipasi Marx dengan menyatakan bahwa kemajuan teknologi akan mengubah secara hakiki pekerjaan manusia dan menjadi pengawasan mesin yang kemudian mengubah perngertian nilai lebih. Sedangkan sanggahan ketiga, kemungkinan benar bahwa nilai tidak hanya ditentukan oleh pekerjaan tangan secara langsung. Dengan demikian argumen Karl Marx mengenai teori nilai lebih bisa dipertanyakan. 2.Alienasi sebagai ketidakadilan. Marx berpendapat bahwa dalam masyarakat kapitalis pekerjaan telah membuat manusia teralienasi (terasing) dari dirinya sendiri. Untuk memahaminya perlu diketahui filsafat pekerjaan Marx terlebih dahulu. Marx setuju dengan Hegel bahwa manusia memahami kenyataan dirinya melalui kerja. Pekerjaan adalah kegiatan khas manusia yang membedakannya dari binatang. Marx setuju dengan Feurbach yang menyatakan bahwa kenyataan akhir adalah objek indrawi, tetapi bagi Marx objek indrawi itu adalah pekerjaan. Pekerjaan adalah objektifikasi roh kedalam dunia material. Dalam pekerjaan manusia menyatakan dirinya. Dan dari pekerjaan itu manusia merefleksikan hakikatnya sendiri. Dalam masyarakat kapitalis, apa yang diciptakan buruh bukanlah objektivitas dari dirinya melainkan perintah dari majikan. Dengan demikian pekerjaan tidak merealisasikan hakikat manusia namun justru mengasingkannya. Bagi Marx alienasi manusia dapat diakhiri dengan penghapusan institusi hak milik atas alat-alat produksi. Sistem hak milik itulah yang menyebabkan pemisahan antara majikan dan pekerja. Jadi keterasingan adalah akibat langsung dari sistem hak milik pribadi Lantas pertanyaan yang dapat diajukan, mengapa buruh melakukan pekerjaan yang tidak diinginkannya? Dari kasus perburuhan di Indonesia, buruh tampak tidak mempunyai kebebasan dan daya untuk keluar dari situasinya. Untuk bertahan hidup buruh “memperalat dirinya” untuk mendapatkan nafkah. Dengan demikian, kapitalisme memiliki “pisau ganda” ketidakadilan bagi buruh, yakni: hilangnya kebebasan dan alienasi. Penulis mengajukan dua sanggahan. Pertama, Habermas mempertanyakan pandangan Marx yang menyatakan bahwa hanya pekerjaan yang menjadi tindakan hakiki manusia. Tentu ada tindakan manusia yang lain yang membedakan manusia dengan binatang misalnya cinta dan relasi dengan sesama. Kedua, dalam masyarakat tanpa pembagian antara majikan dan pekerja, misal suku pedalaman di Papua, ada kalanya bahwa tindakan mereka juga didasari keterpaksaan untuk mencari nafkah. Lantas, apakah yang mereka lakukan juga dapat dikatakan sebagai alienasi diri?

3.Perjuangan Kelas Seperti juga Hegel, Marx berpandangan bahwa sejarah adalah proses dialektika. Akan tetapi, tesis dan antitesis tidak dimengerti sebagai Roh subjektif dan Roh obyektif melainkan kontradiksi-kontradiksi dalam masyarakat khususnya dalam kegiatan ekonomi dan produksi. Sintesis timbul dari kelas-kelas sosial yakni kelas yang berkuasa dengan kelas yang dikuasai, antara kelas pemilik modal dengan kelas pekerja. Dalam uraian sebelumnya diketahui bahwa dalam sistem ekonomi kapitalis, buruh adalah obyek eksploitasi. Dalam pasar bebas, pemilik modal hanya dapat bertahan dari persaingan melalui laba. Telah disinggung pula satu-satunya sumber laba adalah nilai lebih dari tenaga kerja. Oleh karenanya untuk mencapai laba, perusahaan menekan upah buruh serendah mungkin. Kebalikannya, buruh berusaha untuk mendapatkan upah sebanyak-banyaknya. Tabrakan kepentingan tersebut pada akhirnya akan berujung pada perlawanan kelas buruh terhadap kelas pemilik modal. Dalam kerangka “materialisme sejarah” perlawanan buruh itu adalah sebuah keniscayaan yang tak terelakkan. Kesimpulan Bertumpu pada Pemikiran Marx aksi buruh adalah suatu keniscayaan sebagai hasil dari sistem ekonomi kapitalis. Sistem yang menciptakan ketidakadilan dan eksploitasi bagi kelas pekerja. Dalam kacamata Marx, aksi buruh itu adalah bagian dari sejarah manusia dalam kerangka sejarah perjuangan kelas yang mendorong terjadinya perubahan sosial. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa aksi buruh adalah hal yang positif bagi perubahan sosial. Perbedaan cara pandang atas situasi ekonomi dalam industri antara buruh dan pemodal adalah karena hakikat masing-masing kelas, yakni bahwa masing-masing kelas memiliki kepentingan yang saling bertabrakan. Suatu kali dua teman penulis, yang adalah seorang buruh dan pekerja kantoran, saling mengutuk. Teman yang bekerja dikantor ini melihat tuntutan si buruh tidak masuk akal, karena bagaimana bisa buruh meminta upah yang sama besar agar bisa membeli sebuah mobil? Mungkin Marx akan berkata kepada teman saya yang pekerja kantoran, “ ada saatnya bagimu bahwa kamu akan sadar bahwa kamupun dieksploitasi”. Sebagai penutup penulis menyatakan bahwa penulis bukanlah seorang Marxisme, hanya saja pemikiran Karl Marx memberi wawasan yang lebih luas untuk membedah kasus-kasus sosial-ekonomi dalam masyarakat




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline