“Ratusan nyawa melayang termasuk warga sipil dan anak-anak” demikian bunyi berita dari salah satu surat kabar nasional. Satu dekade ini perang dan kekerasan sudah jamak kita dengar, dari perang Afganistan sampai perang saudara di Suriah, dari kekerasan sekala besar sampai lingkungan intern keluarga. Pertanyaannya adalah kenapa kekerasan terus terjadi? Tidak adakah perdamaian di dunia ini? Tentu kita bisa menjawab dengan berbagai sudut pandang dan penjelasan, namun dalam kesempatan ini saya hendak bertanya dimana posisi filsafat dalam masalah kekerasan dan perdamaian. Apabila mendengar kata , dengan spontan orang akan mengatakan filsafat adalah sesuatu yang abstrak, mengawang-awang, konseptual, dan tidak menyentuh realitas kehidupan manusia. Anggapan itu memang ada benarnya, tapi tidak semuanya mengawang-awang tanpa memikirkan pergulatan keseharian manusia. Diaantara sebegitu banyak filsuf sejauh yang penulis ketahui ada Soren Kierkegaard, Heidegger, dan Eric Weil. Dan filsuf yang terakhir itu justru menggulati mengenai kekerasan dan perdamaian. Eric Weil adalah seorang filsuf keturunan Yahudi. Weil lahir di Perchim, Jerman pada tahun 1904 dari keluarga pedagang. Dengan demikian Ia sezaman dengan Jean-Paul Sartre, yang terkenal sebagai filsuf eksistensialis itu. Pada tahun 1930-an hidup Weil yang sebelumnya damai berubah drastis oleh karena pemerintahan Nazi. Selama masa itu ia melihat, merasakan, dan mengalami kekejaman kemanusiaan. Ketika itu Jerman sedang gencar membasmi setiap keturunan Yahudi. Oleh karenanya pada akhir 1932, Weil meninggalkan Jerman, dan lari ke Paris. Pengalaman kekejaman Nazi itulah titik tolak refleksi filosofis Weil mengenai kekerasan dan perdamaian. Bagi Weil manusia bukanlah makluk rasional, melainkan sebuah rasional. Apa maksudnya? Manusia tidak serta-merta selalu rasional dalam hidup dan tindakannya. Rasional adalah suatu kemungkinan bagi manusia. Kemungkinan atas pilihan yang dikehendakinya, yakni pilihan untuk rasional atau irrasional. Hal itu bisa dengan mudah kita mengerti dalam kenyataan sehari-hari seringkali kita bertindak tanpa menggunakan rasio/ akal budi. Misalnya ketika seseorang seminaris lapar, tanpa pikir panjang Ia melahap semua makanan di refter tanpa peduli pada teman yang lain. orang yang rasional adalah jika ia mau sejenak mempertimbangkan, lantas memutuskan tindakan dengan berlandaskan nilai kehidupan bersama. Ia dengan akal budi mampu membuat pilihan untuk hanya makan bagiannya saja, sehingga teman yang lain “kebagian”, tidak kelaparan karena kerakusannya. Kebalikan dari rasional, irrasional berarti segala tindakan digerakkan oleh insting, nafsu individual atau kepentingan diri dan kebutaan pada nilai kepentingan bersama. Apa saja nilai-nilai kehidupan bersama itu? Weil berpendapat dalam diri manusia sudah melekat nilai-nilai universal bagi landasan kehidupan bersama. Nilai persahabatan, persaudaraan, kerjasama, dan perdamaian ada di dalam diri manusia. Maka dengan memilih untuk berjuang merengkuh nilai-nilai itu kedamaian akan tercipta. Pilihan rasional sekali lagi berarti mau memperjuangkan nilai-nilai itu. Dengan demikian, menolak memperjuangkan nilai-nilai tersebut berarti mengingkari martabat manusia sebagai mahkluk rasional. Lantas, Weil menyebut pilihan hidup yang rasional sebagai jalan kebijaksanaan. Orang menjadi bijak jika mau berproses dalam jalan kebijaksanaan itu. Dengan mengatakan “proses”, berarti kebijaksanaan tidak serta merta diperoleh. Bagi Weil, kebijaksanaan adalah buah dari berfilsafat. Filsafat bagi Weil adalah sebuah proses dan sekaligus pengalaman menghayati hidup bijaksana, hidup yang terus menerus memilih rasionalitas yakni pilihan untuk memperjuangkan nilai-nilai universal. Dalam artian inilah filsafat wacana abstrak, melainkan wacana yang sungguh konkret. Lantas apa hubungan pandangan manusia dan definisi filsafat itu dengan kekerasan? Kekerasan terjadi ketika kita memilih yang irrasional dibanding yang rasional. Kita tunduk pada nafsu dan kepentingan diri dibandingkan nilai-nilai kehidupan bersama. Dalam berita surat kabar itu, Para pelaku kekerasan dalam konflik tidak mau “berfilsafat”, tidak mau mengaktualisasikan potensi rasionalitasnya dengan memilih memperjuangkan nilai-nilai bersama yakni perdamaian. Tanpa pikir panjang mereka “main bom”, “main tembak” saja tanpa memperhitungkan dampaknya khususnya bagi warga sipil dan anak-anak. Nafsu dan egoisme mengalahkan rasionalitas. Weil memang tidak setenar Sartre dan Ia bisa dibilang filsuf “kecil”, akan tetapi filsafat “konkret”nya dalam merefleksikan perdamaian menarik untuk diketahui. Weil membuka cakrawala mengenai potensi rasionalitas kita. Sebagai mahkluk/pengada yang memiliki kebebasan, kita ditantang untuk mengaktualkannya. Beranikah kita?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H