Lihat ke Halaman Asli

Utamakan Panja daripada Pansus, RI Kecolongan Lagi

Diperbarui: 12 Februari 2016   15:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tiga bulan sudah kasus “Papa Minta Saham” bergulir dan menjadi fokus pengusutan oleh Kejaksaan Agung. Tetapi, sampai saat ini kasus tersebut belum ada kemajuan walaupun Setya Novanto sudah dua kali datang memenuhi panggilan Kejaksaan Agung. Kejaksaan Agung seolah buntu untuk memecahkan kasus yang sampai saat ini hanya memiliki satu alat bukti, yaitu keterangan dari Maroef Sjamsuddin, mantan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia.

Apabila kita amati perkembangan kasus yang menjerat Setya Novanto saat ini, seharusnya tidak perlu lagi DPR mengusung Panja guna menyelamatkan Setya Novanto, walau bagaimanapun kasus yang menjerat Setya Novanto minim alat bukti, jadi masih kecil kemungkinan untuk menjerat Novanto menjadi tersangka apalagi menjadi terdakwa. Saat ini status Setya Novanto masih saksi, dan prosesnya pun masih dalam tahap penyelidikan. Tahap penyelidikan saja sudah sulit mencari alat bukti, jadi akan makin sulit untuk ke tahap selanjutnya yaitu penyidikan. Hal yang akan terjadi justru malah kasus ini ditutup karena sudah melewati batas waktu penyelidikan.

Sebenarnya untuk apalagi DPR sibuk mengurus Panja penyelamatan Setya Novanto, lebih penting yang seharusnya menjadi fokus DPR adalah pembentukan Pansus untuk membongkar mafia-mafia Freeport yang sebenarnya. Akibat dari DPR sibuk mengurus Panja, pembentukan Pansus menjadi terabaikan. Selain itu, gerak-gerik Pemerintah dalam menangani Freeport menjadi tidak ada yang mengawasi, karena DPR sedang sibuk menyelamatkan rekan sejawat mereka. Alhasil, Soedirman Said dengan leluasa mengeluarkan perpanjangan izin ekspor konsentrat bagi Freeport, meskipun Freeport belum memenuhi 2 syarat yang diajukan oleh Pemerintah. Syarat pertama yaitu Freeport harus menyerahkan uang sejumlah US$ 530 untuk pembangunan fasilitas pengelolaan dan pemurnian atau smelter. Syarat kedua,  Freeport Indonesia harus membayar biaya bea keluar sebesar 5%.

Untuk ke sekian kalinya Indonesia kecolongan lagi, izin ekspor konsentrat dikeluarkan oleh Kementrian ESDM tanpa ada feedback dari Freeport untuk Indonesia, bahkan dua syarat yang sebelumnya diminta pemerintah pun tidak dipenuhi Freeport hingga izin ekspor itu keluar. Sungguh miris melihat kondisi seperti ini, andai saja DPR mengutamakan pembentukan Pansus daripada Panja, mungkin RI tidak akan kecolongan lagi karena setiap hal yang menyangkut Pemerintah dan Freeport diawasi dengan seksama oleh Pansus.

 

Source:

Satu Dua

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline