Oleh: Aron Andrianshah
Berbicara mengenai Fiqh, hal ini tentunya berkaitan dengan agama, agama islam adalah agama yang paling sempurna, agama yang selalu mengajarkan dan membimbing umat manusia agar hidupnya selamat di dunia dan akhirat, didalamnya mencangkup seluruh aspek kehidupan alam semesta. Kerangka dasar yang diajarkan Islam berasal dari hadist Nabi Muhammad SAW, kerangka tersebut terdiri atas akidah syari’ah dan akhlak.
Untuk memahami kerangka 3 ini, kiranya harus memahami terlebih dahulu tentang ilmu fiqh. Mengapa orang mukmin harus memahami ilmu fiqh? Karena memang didalam fiqh mencangkup semua aturan-aturan yang harus dipatuhi dan dijalani, seperti aturan tentang peribadatan kepada Allah SWT, tata cara sholat, tata cara puasa, bahkan tata cara menghargai orang lain/akhlak, dan lain-lain semua telah diajarakan di fiqh.
Mempelajari fiqh sangat berguna dalam memberi pemahaman tentang berbagai aturan secara mendalam, dengan itu orang mukmin tahu aturan-aturan secara rinci mengenai kewajiban dan tanggungjawab manusia terhadap tuhannya, hak dan kewajiban dalam rumah tangga dan bermasyarakat, mengetahui cara bersuci, shalat, zakat, puasa, haji, nikah, talak, rujuk, warisan dan lain-lain.
Dalam kaitanya hal ini, penulis akan fokus kepada hukum atau aturan mengenai kewajiban dan tanggungjawab manusia terhadap Tuhannya dan seorang muslim beribadah kepada Allah SWT atau biasa disebut Sholat, yang mana dalam suatu daerah terdapat sebuah masjid yang menurut penulis lain dari yang lain, bagaimana tidak? Dalam semua bentuk peribadatan menurut penulis tempat tersebut lain dari yang lain atau bisa disebut terdapat sebuah perbedaan, dan mengapa bisa dikatakan demikian? Ya karena dalam menjalankan ibadah tata cara pelaksanaanya tidak seperti umumnya yang semua orang mukimin ketahui, seperti contoh saat melaksanakan sholat jum’at, umumnya terutama madzhab Imam syafi’i diketahui bahwa pada saat melaksanakan sholat jum’at harus ada makmum atau jamaah minimal 40 orang, nah pada tempat tersebut dalam menjalankan sholat jum’at itu hanya terdiri dari sepasang suami istri, jadi tugas seorang imam, khotib dan muadzin semua dijadikan satu dan di handle oleh suaminya dan sang istri sebagai makmum. Dalam hal ini yang menarik adalah bahwa sebenarnya beliau ini menganut faham madzab siapa? Mengingat ulama hanafiyah mensyaratkan sahnya sholat jum’at adalah tiga orang jamaah, meskipun yang mendengarkan khutbah jum’at hanya seorang saja dan saat melangsungkan sholat makmum berjumlah tiga orang adalah sah. Dari Abu Sa’id al-khudri Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Kalau mereka menyatukan tiga orang maka salah seorang dari mereka menjadi imam (dalam sholat) bagi mereka dan yang paling berhak menjadi imam diantara mereka adalah yang paling baik dalam membaca (Al-Qur’an). Dan dari Abu ad-Darda Radhivallahu anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda: “tidaklah tiga orang (muslim yang menetap) di suatu desa atau perkampungan lalu mereka tidak mendirikan sholat (berjamaah/Jum’at) kecuali syaitan akan menguasai mereka.
Kemudian menurut malikiyah, jamaah sholat jum’at itu paling sedikit adalah 12 orang, selain imam. Dan seluruh anggota jamaah sholat jum’at itu haruslah orang-orang yang berkewajiban melakukanya. Tidak sah apabila diantara 12 jamaah itu, salah satunya terdapat wanita atau musafir dan anak kecil. Seperti hadist yang berbunyi: “Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW saat membaca khutbah dengan berdiri, lalu datanglah rombongan pedagang dari syam. Maka jamaah sholat jum’at berhamburan menyerbu dagangan mereka sehingga hanya tersisa 12 orang. (HR. Muslim, Bulghul Marom). Jadi, hadist tersebut memperkuat fakta bahwa dalam menjalankan sholat Jum’at menurut imam Maliki jumlah jamaahnya minimal 12 orang agar menjadi sah.
Sedangkan ulama syafi’iyah dan hambaliyah mensyaratkan bahwa sholat jum’at itu harus terdiri dari 40 jamaah, bahkan sebagaian ulama hambaliyah mengharuskan 50 jamaah. Kemudian berdasarkan hadist riwayat abu dawud dari thariq bin syihab dikatakan bahwa yang jelas sholat jum’at itu sebagaimana disepakati para ulama harus dilakukan secara berjamaah. Dalil tentang jumlah jamaah yang mengharuskan 40 orang itu berdasarkan hadist Rasulullah yang berbunyi: “Dari ibnu Mas’ud RA bahwa Rasulullah SAW sholat Jum’at di Madinah dengan jumlah peserta 40 orang. (HR. Al-Baihaqi).
Ini adalah dalil yang sangat jelas dan terang sekali yang menjelaskan berapa jumlah jamaah sholat Jum’at di Masa Rasulullah SAW. Menurut kalangan Asy-Syafi’iyah, tidak pernah didapat dalil yang shahih yang menyebutkan bahwa jumlah mereka itu kurang dari 40 orang. Tidak pernah disebutkan dalam dalil yang shahih bahwa misalnva Rasulullah SAW dahulu pernah sholat jum’at hanya bertiga saja atau hanya 12 orang saja. Karena menurut mereka ketika terjadi peristiwa bubarnya sebagian jamaah itu, tidak ada keterangan bahwa Rasulullah SAW dan sisa jamaah meneruskan sholat itu dengan sholat Jum’at.
Kemudian lagi, menurut ulama Muhammadiyah perbedaan pendapat soal jumlah minimal jamaah sholat Jum’at itu didasarkan pada arti kata jamak “cukup tiga”, dan ada pula yang mendasarkan pada riwayat Jabir. Jabir mengungkapkan bahwa berdasarkan Sunnah yang telah berjalan, kalau terdapat 40 orang atau lebih, dirikanlah sholat Jum’at. Namun, Albaihaqi menyatakan bahwa riwayat jabir itu tidak bisa dijadikan Hujjah.
Ada pula riwayat Ka’ab bin Malik yang menyatakan bahwa sholat Jum’at pertama di Baqi dikerjakan 40 orang. Menurut ulama Muhammadiyah, dalam riwayat itu tak ditegaskan jumlah minimal jamaah sholat Jum’at, namun hanya menceritakan jumlah orang yang menunaikan sholat Jum’at pertama.
Lalu bagaimana ulama NU menanggapi hal ini? Masalah ini telah dibahas dalam Muktamar ke-4 NU di semarang pada 19 september 1929. Dalam fatwanya, ulama NU menyatakan, jika jumlah jamaah pada sebuah desa kurang dari 40 orang, maka mereka boleh bertaklid pada Abu Hanifah. Dengan ketentuan harus menunaikan rukun dan syarat menurut ketentuan Abu Hanifah, tetapi lebih utama supaya bertaklid kepada Imam Muzan dari golongan mazhab Syafi’i, demikian kesepakatan ulama NU terkait masalah jumlah minimal jamaah sholat Jum’at.
Berdasarkan dari penulisan diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa perbedaan pendapat dalam hal jumlah jamaah dalam melaksanakan sholat Jum’at itu disesuaikan dengan madzab yang dianut oleh seseorang yang menjalankannya. Mengenai perbedaan tersebut merupakan hal yang lumrah terjadi sejak zaman dulu. Islam sendiri memandang sebuah perbedaan sebagai Nikmat dan Rahmat (Q.S AlHujarat:13). Tidak selamnya lho perbedaan itu buruk, seperti contoh pelangi, pelangi saja butuh banyak perbedaan warna untuk menghiasi tiap lengkungannya kok, hehehe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H