Lihat ke Halaman Asli

Anton Surya

Pengelana

R.A. Kosasih, Bapak Komik Indonesia Telah Berpulang

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13431378341599883712

[caption id="attachment_196073" align="alignnone" width="209" caption="R.A. Kosasih"][/caption] Saat membaca kompas.com saya terkejut ada berita jika beliau telah berpulang. Raden Ahmad Kosasih telah menghasilkan banyak karya besar seperti serial Sri Asih, komik bergenre superhero. RA Kosasih meninggal dunia karena serangan jantung pada usia 93 tahun hari ini pukul 01.00 WIB di rumahnya, Jalan Cempaka Putih III No 2, Rempoa, Ciputat, Tangerang Selatan. Saya masih ingat saat masih Sekolah Dasar tahun 1980, pertama kali kenal komik adalah membaca karya beliau, Mahabarata, dari tumpukan buku-buku tua koleksi paman. Dari situlah sayamulai merasa cerita wayang itu menarik. Sebelumnya saya menganggap wayang itu hanyalah hiburan untuk orang tua dan tidak menarik. Melalui karya beliau akhirnya saya mengenal banyak tokoh wayang. Dimulai dengan membaca karya beliau saya mulai tertarik membaca komik karya komikus lain, sehingga saya kenal beberapa komikus Indonesia seperti Jair (Jaka Sembung), Ganes Th (Si Buta dari Goa Hantu), dan lain-lain. R.A. Kosasih lahir di desa Bondongan, Bogor, sebagai bungsu dari tujuh bersaudara. Ayahnya R. Wiradikusuma, seorang pedagang dari Purwakarta, sedang ibunya, Sumami, perempuan Bogor. Minat menggambar Kosasih datang tanpa sengaja. Ketika kelas satu Inlands Scholl, Bogor, ia acap menunggu ibunya berbelanja. Nah, disaat membantu membongkari belanjaan sang ibu itulah, matanya menangkap komik Tarzan dari potongan-potongan koran bungkus belanjaan. Ia pun menjadi penikmat komik itu, meski dengan cerita yang tentu, tak berurutan. Lulus dari Inlands School 1932, ia melanjutkan ke Hollandsc Inlands School (HIS) Pasundan. “Di HIS inilah saya mulai tertarik pada seni menggambar secara formal. Sebab, ilustrasi pada buku pelajaran Bahasa Belanda bagus-bagus. Buku catatan saya banyak yang cepat habis karena saya gambari,” kenangnya, tertawa. Selepas HIS ia tak meneruskan sekolah, meski kesempatan menjadi pamong praja menunggunya. Masa menganggur itu ia puaskan dengan menggambar dan menonton wayang golek. Ia selalu pulang pagi, terutama jika lakonnya Arjuna, Bima, atau Gatotkaca. Karena kerapnya, ia sampai hapal semua cerita wayang, juga gaya para pedalang. “Jika pulang nonton, kepala saya masih selalu dipenuhi gambaran ceritanya. Saya lalu dapat ide, jika cerita itu dipersingkat tapi tetap berbobot, tentu disukai banyak orang.” Tapi, ide itu hanya sebatas ide. Tahun 1939, ia melamar sebagai juru gambar di Departemen Pertanian Bogor. Diterima, ia pun menjadi penggambar hewan dan tumbuhan. “Acap, serangga yang akan saya gambar harus saya lihat dulu di bawah mikroskop.” Gajinya cukup, meski tak mewah. Jepang masuk, kehidupan Kosasih menderita. Kebahagiaanya cuma satu, ia mendapatkan komik Flash Gordon. Setelah merdeka, ia melihat banyak peluang di koran-koran. 1953, ia melamar kerja sebagai komikus di harian Pedoman Bandung, ia masuk malam, karena siang masih bekerja di Departemen pertanian. “Serial pertama saya lahir, Sri Asih, superhero wanita. Boleh dibilang, saya pengagum wanita. Ide itu terinspirasi oleh komik Wonder Women,” akunya. Sri Asih dicetak 3000 eksemplar, langsung tandas. Ia mendapat honor Rp 4.000,- sebulan. “Padahal, gaji saya sebagai pegawai Rp. 150,-.” Kesuksesan Sri Asih melecut semangatnya. Ia pun membuat serial kedua, Siti Gahara. Yang pertama pendekar wanita berbusana wayang, yang kedua berbusana Aladin. Juga laku keras. Semangatnya kian membara. Imajinasinya tambah liar. Ia melahirkan kembali serial sejenis, Sri Dewi. Hebatnya, ia bahkan melahirkan edisi Sri Dewi Kontra Dewi Sputnik. “Saya mau menunjukkan, tradisi lawan modern tidak selalu dimenangkan yang modern. Sri Dewi harus tetap menang, ha-ha-ha...” Tahun 1955, ia keluar dari Departemen Pertanian karena kesibukan yang tak bisa ditinggalkan. Order menggambar terus mengalir. Tapi, kenikmatan ijaminasi itu hanya berlangsung sepuluh tahun. Ketika Lekra berkuasa, komiknya dikecam karena mengandung unsur kebarat-baratan. Pihak Lekra malah membombardir pasar dengan komik keluaran RRC. Tiras komik Kosasih turun drastis. Ia sedih, tapi tak menyerah. Merasa tertantang, Kosasih bergerak ke wayang. Komik Mundinglaya Dikusuma dan Ganesha Bangun pun lahir. Namun, komik Burisrawa Gandrung dan Burisrawa Merindukan Bulan yang laris. Pasar kembali ia kuasai. Ketika meminjam buku di Perpustakaan Bogor, matanya melahap Bhagawad Gita terjemahan Balai Pustaka. Ide baru pun muncul. Kepada penerbit Melodi, ia katakan ingin mengomikkan wayang dari versi asli. Segera Ramayana dan Mahabrata lahir. Hasilnya, luar biasa, mungkin rekor yang belum terpecahkan sampai saat ini. Menurut hitungan Kosasih, dalam sebulan, satu seri komiknya dapat terjual 30 ribu eksemplar. Komikus lain pun terjun bebas mengikuti jejaknya. Tapi, trademark Kosasih tak tertandingi. Untuk tetap pegang pasar, ia terus berimprovisasi. Ia juga melahirkan superhero wanita lain, Cempaka, wanita berbaju loreng, kekar dan tinggi seksi. “Itu terinspirasi komik Tarzan,” akunya. Sayang, perubahan manajemen Melodi membuat komiknya tak lagi diperpanjang, hanya mengandalkan cetak ulang. 1964, ia pindah ke Jakarta, bekerja untuk Lokajaya. Tapi, masa keemasan komik mulai pudar. Serial Kala Hitam dan Setan Cebol hanya laku 2000 eksemplar. 1968, kesehatan Kosasih memburuk, ia pun istirahat setahun penuh, kembali ke Bogor. Tahun 70-an, penerbit Maranatha Bandung memintanya menulis ulang Mahabrata. Tapi lucunya, karya ulang itu tak sama dengan yang pertama. Kosasih dinilai gagal. “Memang, jika menggambar saya mengikutkan suasana hati. Jadi, jika kadang menjadi berbeda sama sekali,” akunya. Memasuki tahun 1980-an, komiknya hanya beredar terbatas. Komik asing yang masuk, juga maraknya era komik silat Jan Mintaraga, Djair dan Ganesh TH ikut memurukkannya. “Saya selalu membaca karya mereka, juga yang dari luar. Bagus-bagus sekali kok,” pujinya jujur. Mulai 1985, Kosasih, pionir komikus wayang itu praktis dilupakan. Namanya hanya hadir dalam seminar dan sejatah komik. Orang bahkan jarang tahu, dengan tubuh renta uzur, ia masih acap duduk, sendiri, di meja gambarnya, berteman kalkir dan tinta cina, dan menggambar dengan jari yang gemetar. Kosasih masih beraksi, sendiri, di paviliun mungil Jl Pahlawan Bogor, seakan diminta menjadi saksi, zaman yang mengogahi seni tradisi. Nama : Raden Ahmad Kosasih Lahir :Bondongan, Bogor,Jawa Barat , 1919 Pendidikan : Inlands School 1932, Hollandsc Inlands School (HIS) Pasundan Karir : Penulis Komik, juru gambar di Departemen Pertanian Bogor, Komikus di harian Pedoman Bandung Karya : Sri Asih, Siti Gahara, Sri Dewi, Mahabrata, Ramayana, Pandawa Seda, Bharatayudha, Raden Parikesit, Srikandi Sumber : http://oase.kompas.com/read/2012/07/24/1749379/Mengenang.RA.Kosasih.Teladan.Dunia.Komik.Indonesia http://komikjadul.multiply.com/journal/item/16/RA_KOSASIH_-_Pelopor_Komik_Indonesia http://rakosasih.blogspot.com/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline