Lihat ke Halaman Asli

Suryadin Laoddang

Konsultan Digital Marketing - Pemerhati Budaya Bugis

Galigo Hari Ini, Seri 99 (Edisi Mengenang Kepergian Bissu Sai'di)

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

GALIGO HARI INI, SERI 99

EDISI KHUSUS : MENGENANG KEPERGIAN BISSU SAI’DI

Langi Alani Taromu (8)

Muppadimajeng Sai (7)

Ana’ MapeddiE (6)

Arti Bugis : Eeee Puang, talaani paimeng taro-tarota, anrasa-rasangmitu kasi’ simata napunennung ri laleng linoE

Arti Indonesia : Ya, Tuhanku. Sungguh tepat kiranya Engkau panggil ia ke keharibaanmu. Sehingga lepas sudah segala deritanya dimuka bumi ini.

Kata kunci : 1.Langi = Langit = Simbol Botting Langi, dunia atas. Sehingga bermakan Tuhan. 2. Majeng = Kuburan / Akhirat. 3. Ana’ MapeddiE = orang yang menderita hidupnya.

PENJELASAN : Galigo ini sungguh tepat untuk mengenang kepergian Bissu Sai’di. Terlepas dari berbagai pandangan pro dan kontra tentang konsep ke-Tuhan-anannya, Bissu sangat dibutuhkan oleh pemerintah dan masyarakat Sulawesi Selatan. Tak lengkap rasanya pesta-pesta dan ritual adat tanpa kehadirannya. Sekedar pelantikan seorang pejabat pemerintahan pun tak lengkap tanpa kehadiran seorang bissu. Sayang, kehadirannya hanyalah simbol. Ibarat pepatah “habis manis sepah dibuang” itulah nasib para bissu, termasuk bissu Sai’di. Nasib yang juga menimpa pegiat-pegiat budaya lainnya.

Itu masih mending, belakang muncul idiom baru. “Habis manis, tunggu manisnya lagi”, lihatlah para pegiat budaya selalu dipaksa berkreasi, dan memuaskan “syahwat” penonton. Tapi penonton tak tahu diri, tidak mau tahu bahwa pegiat budaya juga butuh sandang, pangan dan papan. Mereka (penonton) rela membayar “uang pipis” seribu rupiah dibanding mentelesepkan lembaran itu pada celengan apresiasi di berbagai acara budaya. Ini pulalah yang dialami Bissu Sai’di, ratusan orang membutuhkannya. Tapi tak ada yang peduli dengan kebutuhannya. Tak meminta imbalan salah, jikapun meminta disangka mengkomersialkan budaya. “Budaya itu milik umum bung”, begitu alasan para manusia pelit tersebut.

Tak peduli tubuhnya lelah dan “maggiri” minta istirahat. Tak peduli tulang punggungnya selalu minta “iparebba”, bissu Sai’di tetap datang dan memuaskan semua pihak. Meski kemudian, saat tubuhnya betul-betul “rebba”, tak ada yang peduli kecuali keluarganya. Ia harus dipontang-pantingkan dari dan ke tiga rumah sakit di Pangkep dan Makassar. Tragis!

Tepatlah kiranya, jika Tuhan (bagi kita) dan Dewata SeuwwaE (bagi Sai’di) segera memanggilnya. Kita yang ditinggalkan, mari kita apresiasi budayanya, tidak dengan kepercayaannya. Itu kalau anda mengklaim diri anda penganut taat agama anda, bukan agama KTP. Salam




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline