Lihat ke Halaman Asli

Refleksi #6: Wibawa

Diperbarui: 15 September 2016   06:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dari mana datangnya wibawa? Yang jelas bukan dari sawah turun ke kali, seperti lintah atau ikan lele. Kiranya tak berlebihan kalau dikatakan bahwa wibawa adalah rahmat Tuhan yang masuk ke dalam tubuh kasar manusia. Ia menyatu dengan diri seseorang tanpa dibuat-buat, tanpa direkayasa. Walaupun demikian, wibawa tidak bisa hinggap pada jiwa setiap orang. Ia memilih-milih tempat untuk bersemayam. Ia hadir dalam diri seseorang karena konsistensi orang itu dalam bertindak, karena memiliki kelurusan antara kata-kata dan perbuatan.

Dengan kata lain, wibawa adalah titipan Tuhan kepada insan manusia. Wibawa memang tidak dapat dibeli dengan uang bergepok dan sekeranjang emas batangan. Ia juga tidak dapat dihadirkan secara paksa ke dalam diri.

Jadi, wibawa tidak dapat diejan-ejan. Wibawa yang terlalu diejan pada suatu saat akan runtuh sendiri; kasus yang baru saja menimpa salah seorang selebriti, yang konon disebut motivator paling andal, adalah salah satu contoh nyata.

Dalam budaya Minangkabau wibawa disebut tuah. Dan ada pepatah lama Minangkabau yang mungkin tidak ada salahnya untuk selalu diingat oleh para pejabat publik mengatakan: ‘Tuah jan diajan-ajan, beko kalua cirik’ (Wibawa jangan diejan-ejan, nanti yang keluar justru malah tahi).

Sering kita mendengar celotehan di pasar yang ramai atau dalam obrolan di lepau kopi: Presiden kita itu memang berwibawa. Karena wibawanya itu, negara jadi aman dan bangsa asing jadi segan. Orang banyak dalam berbagai lapisan sosial respek kepadanya. Terdengar pula komentar dari sudut lain: kok Presiden kita yang ini kelihatan kurang berwibawa, ya? Sepertinya dia diperolok-olokkan saja oleh rakyat, sebagaimana terefleksi dalam banyak meme dan foto-foto bernuansa pelecehan di media sosial, dan dipandang enteng saja oleh bangsa asing.

Tentu sudah sering pula terdengar oleh kita, atau mungkin kita melihat dengan mata kepala sendiri, seseorang yang kehilangan wibawa. Kalau seseorang sudah kehilangan wibawa,orang itu dapat diibaratkan seperti cangkang siput: isinya sudah tidak ada lagi, tinggal kerabangnya saja.

Wibawa hilang karena perbuatan yang merendahkan atau menghinakan diri sendiri. Orang yang kehilangan wibawa pasti telah melakukan suatu tindakan yang tidak pantas dan tidak sesuai dengan statusnya yang dihormati dalam masyarakat, apapun tingkatnya – mungkin presiden gubernur, walikota, sampai kepala rumah tangga. Ia telah melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan janjinya, atau karena tindakannya yang kasar kepada orang lain dan tidak mengindahkan etika dan sopan santun. Melakukan tindakan blunder terhadap diri sendiri, orang yang kehilangan wibawa sering lupa pada pepatah lama yang penuh iktibar: ‘Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya.’

Salah satu perbuatan buruk yang potensial mengikis dan bahkan dapat melenyapkan wibawa seorang pejabat publik adalah korupsi. Sudah banyak politikus dan birokrat yang kehilangan wibawa karena melakukan tindakan ini. Dan jelas, wibawanya yang sudah hilang itu tidak akan dapat diganti dengan jumlah uang rakyat yang sudah digasaknya. Banyak pejabat lapar duit seperti ini yang sudah tertangkap, tapi mungkin banyak yang masih belum terendus KPK. Walaupun demikian, masyarakat kita makin pintar dan tahu orang-orang yang bermental korup. Boleh jadi pula wibawa seorang pejabat hilang karena tindakannya yang kasar, yang selalu menyalahkan babawahanya atau orang lain, yang berbicara selalu menghardik dan jauh dari sifat santun. Mungkin ada pejabat seperti itu di sebuah instansi . Ia mencoba menunjukkan wibawanya, mengejan-ejan tuah. Pejabat seperti itu dihormati dengan pura-pura tapi akan dicibirkan oleh para bawahannya dari belakang. Dia merasa dirinya masih berwibawa, tapi sebenarnya dia sudah kehilangan wibawanya.

Wibawa, dengan demikian, memang penuh rahasia. Dalam masyarakat kita ada kepercayaan bahwa wibawa dapat didatangkan ke dalam tubuh kasar seseorang melalui cara tertentu. Kalau kita bicara tentang hal ini, tentu kita ingat pada dukun atau tukang jual batu cincin akik. Dalam majalah Misteri yang laris manis itu sering dimuat iklan tentang dukun yang menyediakan azimat yang dapat mendatangkan wibawa kepada pemakainya atau mengembalikan wibawa seseorang yang sudah terlanjur hilang.

Pernah pula saya melihat seorang penjual batu cincin yang menawarkan cincin akik gedang dengan batu mantiko (mestika) warna kemilau kepada calon pembeli sambil mengatakan bahwa jenis batu itu akan mendatangkan wibawa kepada pemakainya. Mereka yang kariernya agak mandeg di kantor, bisa cepat percaya dengan rayuan dukun dan tukang jual batu cincin itu. Walau kini kita sudah hidup di sudah abad 21, tapi banyak orang masih percaya kepada hal-hal yang mistis. Tapi mereka yang saraf belakangnya sudah kena angin pencerahan, tentu akan menjauhi para dukun dan tukang jual batu cincin yang menawarkan ‘paket wibawa’ itu.

Wibawa datang ke dalam diri seseorang bukan melalui batu cincin dan azimat, tapi melalui tindakan yang sesuai dengan ucapan, satunya kata dan perbuatan, melalui usaha menjaga harga diri dan menghargai orang lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline