Kami mengucapkan selamat tinggal kepada resepsionis Hotel Hermitage Genova, tempat kami menginap selama liburan kami kali ini di Italia, sebelum bertolak ke Milan dengan kereta api paling awal. Hari masih pagi, ketika taksi yang kami pesan lewat resepsionis hotel datang tiga menit kemudian.
Taksi pun muncul dan kami segera meluncur ke Stasiun Genova Piazza Principe. Sepanjang perjalanan ke stasiun, kota kelihatan masih lengang, padahal jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Kami memutuskan naik kereta api ke Milan karena waktu datang kami naik bus. Tiket sekali jalan telah kami beli dua hari sebelumnya dengan harga 61,50 euro untuk berempat, jadi sekitar 15 euro lebih sedikit seorang, tapi anak-anak sebenarnya dapat potongan harga.
Perjalanan ke Milan ditempuh dalam waktu sekitar 2 jam. Kota ini menjadi tempat persinggahan kami yang terakhir sebelum kembali ke Belanda. Ketika datang ke Italia minggu lalu, pesawat EasyJet yang kami tumpangi pun mendarat di Milan. Dari kota ini lalu kami naik bus ke Genova. Kami telah mengunjungi Milan dua tahun lalu dalam tour kami ke arah timur dan selatan: Venesia, Bologna. Florence, Pisa dan Roma. Kali ini kami memilih sisi Italia yang sebelahnya lagi: bagian Barat. Oleh karena itu kami segera ke Genova setelah mendarat di Milan pada tanggal 26 Juli pagi.
Pesawat kami akan terbang ke Amsterdam pada jam 20:40. Perjalanan Genova-Milan dengan Trenitalia 35662 terasa singkat karena di bilik kami di gerbong nomor 6 bergabung seorang gadis dan seorang lelaki setengah baya, keduanya orang Italia.
Kami saling bercerita tentang banyak hal, tentu saja juga tentang Milan, kota tujuan kami. Sekitar jam 11:00 kereta api kami sudah sampai di Stazione Centrale, Stasiun Kereta Pusat, Milan. Oleh karena itu kami punya waktu cukup panjang untuk menikmati kembali kota ini lagi, seperti dua tahun lalu.
Bus sightseeing di kota Milan menyediakan tiga rute (line) yang boleh digunakan oleh sesiapa saja yang sudah membeli tiket seharga 20 euro. Salah satu rute menyediakan persinggahan ke Stadion San Siro, markas tim sepakbola AC Milan yang terkenal itu. Tiga orang pemuda Indonesia yang kami jumpai memilih rute itu, satu indikasi betapa gilanya orang Indonesia terhadap sepakbola.
Milan atau Milano adalah kota bisnis terbesar di Italia bagian utara. Oleh sebab itu kota ini kelihatan lebih sibuk daripada kota-kota lainnya di wilayah yang berbatasan dengan negara Swiss ini. Dari segi budaya dan sejarah, Milan mungkin kalah menarik dari kota-kota Italia lainnya, seperti Roma, Pisa, Venesia dan Genova. Namun demikian, tetap ada banyak hal yang dapat dinikmati oleh para pelancong di Milan.
Bandar udara Milano Malpensa, salah satu dari dua lapangan terbang di Milan, adalah salah satu home-base penerbangan murah Eropa yang terkenal: EasyJet. Memilih terbang ke Milan biasanya orang bisa mendapatkan tiket dengan harga yang lebih murah. Dari Milan orang bisa melanjutkan penerbangan atau naik bus atau kereta api ke banyak destinasi lain.
Itulah yang kami lakukan: kami terbang dari Amsterdam ke Milan terlebih dahulu, baru kemudian naik bus ke Genova. Bila terbang langsung dari Amsterdam ke Genova, harga tiket jauh lebih mahal.
Selama kurang lebih tujuh jam di Milan, kami berkeliling kota dan menyinggahi titik-titik wisata penting yang disarankan oleh leaflet wisata kota Milan. Bulan Juli dan Agustus adalah bulan liburan musim panas di Eropa. Milan, sebagaimana banyak kota lainnya di Italia, dan Eropa pada umumnya, dibanjiri oleh para pelancong dari negara-negara Eropa lainnya. Banyak juga kami temui pelancong dari Jepang, Cina, dan Korea.
Para pelancong kebanyakan berhenti dulu di Piazza Duomo tempat Milan Duomo atau Kathedral Milan dengan arsitekturnya yang berdekorasi impresif itu berada. Dari sana baru kemudian para wisatawan itu melanjutkan kunjungan mereka ke titik-titik wisata lainnya, seperti Castello, Giribaldi, Republica, Porta Venezia, dan lain-lain.
Di Piazza Duomo mulai terlihat sisi lain dari Italia: para imigran dari Afrika yang berjualan cenderamata, peminta-minta dan gelandangan. Italia, karena letaknya yang berbatasan langsung dengan Laut Tyrrhenian dan Laut Tengah, telah menjadi salah satu tempat pelarian utama banyak pengungsi dari Afrika dan Timur Tengah yang tak juga henti dari konflik politik.
Jutaan orang sudah melarikan diri dari wilayah itu ke Eropa untuk menyelamatkan nyawa mereka. Kebanyakan imigran dari Afrika yang memilih masuk ke Italia biasanya ‘melompat’ dulu ke Lampedusa, pulau yang tak seberapa besar milik Italia yang terletak tak jauh dari lepas pantai Tunisia.
Kini, di kota-kota Italia begitu mudah terlihat banyak pengungsi dari Afrika dan Timur Tengah. Mereka umumnya berjualan cindera mata, barang-barang kaki lima, dan banyak juga yang tidur-tiduran di taman-taman. Dari Asia, kebanyakan imigran yang datang ke Italia berasal dari Bangladesh dan Filipina. Orang Filipina mendapat pekerjaan yang lebih baik di toko-toko, hotel-hotel, dan restoran. Orang Bangladesh kebanyakan berjualan cendera mata di tempat-tempat wisata.