Lihat ke Halaman Asli

Hikayat Padi Sumatera

Diperbarui: 4 Agustus 2016   07:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto 1: Salah satu varietas pulut: 'supuluik itam' (Sumber: httpbp3kbamburuncingparakan.blogspot.com)

Pada tahun 1877-1879 satu tim ekspedisi ilmiah dari Belanda menjelajahi pedalaman pulau Sumatera, mulai dari Bengkulu, Sumatera Selatan, Jambi sampai Sumatera Barat. Dalam tim itu bergabung para sarjana dari berbagai displin ilmu, seperti botani, etnologi, bahasa, geografi, zoologi, dan etnomusikologi.

Dua orang peneliti utama dalam riset berskala cukup besar yang berjudul Sumatra-Expeditie itu adalah A. L. van Hasselt dan Johannes François Snelleman. Ekspedisi itu berlangsung berbulan-bulan menembus hutan, gunung, lembah, dan sungai (seperti Sungai Batanghari) di sepanjang Bukit Barisan, dipandu oleh beberapa beberapa pemuka adat dan diperlengkapi dengan persediaan bahan makanan dan alat-alat perabotan yang dipikul oleh puluhan penduduk lokal (lihat Foto 2).

Foto 2: Para pembantu utama pribumi 'Sumatra-Expeditie'. (Sumber: C.H. Cornelissen, A.L. van Hasselt en Joh F. Snelleman, 'Reizen in Midden-Sumatra, 1877-1879, door de Leden der Sumatra-Expeditie'. Leiden: E.J. Brill, 1882: di muka halaman sampul dalam)

Hasil penelitian Sumatra-Expeditie itu kemudian diterbitkan dalam beberapa jilid buku tebal oleh penerbit E.J. Brill di Leiden (lihat Foto 3 dan 4). Di dalamnya terkandung informasi mengenai pelbagai aspek kehidupan penduduk pedalaman pulau Sumatera, termasuk orang Minangkabau, alat-alat teknologi pertanian, alat-alat senjata dan pertukangan, bahasa dan seni, nama-nama tumbuh-tumbuhan, lingkungan alam dan tempat tinggal mereka. Seri terbitan tersebut kaya dengan banyak sketsa dan ilustrasi. Selain seri terbitan itu, para peneliti yang tergabung dalam tim Sumatera-Expeditie juga telah menulis beberapa artikel yang dipublikasikan di beberapa jurnal ilmiah.

Dalam Bab 10 dari jilid dari seri laporan penelitian tersebut yang berjudul Volksbeschrijving van Midden-Sumatra (‘Deskripsi tentang penduduk pedalaman Sumatera’) (1882) antara lain dideskripsikan tentang pertanian (landbouw). Dalam bab itu terdapat senarai nama jenis-jenis padi yang ditanam penduduk di pedalaman Minangkabau (halaman 337-41). A.L. van Hasselt dan kawan-kawan mencatat ratusan nama varietas padi yang ditanam penduduk di pedalaman Minangkabau. Dapat dibayangkan, betapa kayanya pulau Sumatera dengan varietas padi lokal di masa lampau.

Tim Sumatra-Expeditie antara lain mengadakan pendataan nama-nama varietas padi yang ditanam oleh penduduk di beberapa nagari di pedalaman Minangkabau. Setiap nagari dicatat pula ketinggian letak geografisnya dari permukaan laut: Aia Dingin (1519 meter di atas permukaan laut), Aijië-Loeô (tertulis demikian) (317), Alahan Panjang (1517), Batu Bajanjang (587), Data (700), Garabak (720), Pasia Talang (450), Rangkiang Luluih (540), Sălimpè (tertulis demikian) (1420), Sariak Alahan Tigo (911), Sungai Abu (640), Sungai Nanam (1500), Supayang (685) dan Talang Babungo (1177).

Membaca nama-nama varietas padi yang dicatat oleh tim Sumatra-Expeditie itu (ada 139 varietas yang dicatat), saya teringat kembali ke masa kecil saya di Sunur, Pariaman, yang mempunyai areal persawahan luas. Saya masih ingat beberapa nama varietas padi yang disebutkan dalam daftar itu. Pada masa itu banyak varietas padi lokal di Sumatera masih ditanam oleh penduduk, sebelum pelan-pelan menghilang di tahun1980an akibat kebijakan Pemerintah Orde Baru dengan program ‘swasembada pangan’nya, di samping oleh faktor perubahan alam dan lingkungan.

Foto 3: Salah satu jilid seri terbitan hasil penelitian Sumatra-Expeditie. (Courtesy Leiden University Library, Leiden, Belanda)

Beberapa varietas padi lokal itu disebut jenis ‘monsters’ (ditandai dengan *): batangnya tinggi dan bulirnya besar. Beberapa contoh varietas padi monster ini disimpan di Koloniaal Museum der Maatschappij van Nijverheid di Haarlem, Belanda.

Di Supayang, misalnya, tim Sumatra-Expeditie mencatat varietas Aia ameh, Bijau lagundi, Kawek dan Santok. Di Pasia Talang ditemukan banyak varietas, yaitu: Ambun, Arai, Arai galundi*, Arai karambia*, Arai cinaku, Babijau*, Bungo ambacang, Buah siriah aia, Bonai, Julai, Gagak*, Gandan Aceh*, Gando Aceh, Gando baiak, Gatah jantuang, Kalupak jantuang, Karek, Karek babijau*, Lauik*, Lumuik*, Lunak aluih, Lunak nan gadang, Lunak nan kaciak*, Mayang karambia, Pagam, Payo, Sirandah kutu, Sirandah labek buah, Sulasiah, Tandan biluluak*, Calak, Cinaku, Samek siriah, Santan, Siang kalam dan Siang kalam nan gadang.

Di Aijië-Loeô (Aia Luo?) ditemukan varietas Anak ulek, Bungo giliang, Gando sariak, Harun nasi, Karah, Labek, Liek nan gadang, Urek baringin, Sirandah cupak, Tambu ruok dan Carai. Di Aia Dingin ditemukan varietas Kuriak kaciak. Di nagari Data penduduk banyak menanam varietas Baiak, Banta, Gando rawang, Gumanti, Manau, Sari bonai dan Sari rani. Sedangkan di Talang Babungo ditemukan varietas Bajue (ejaan sekarang: ‘Bayua’).

Di nagari Sălimpè (mungkinkah yang dimaksud nagari Salimpauang?) ditemukan varietas Balumuik, Ladang godok, Dukuang, Ladang siamang, Ladang sirah, Pilangek, Siarang talang dan Siladang gadang. Di Batu Bajanjang ditanam varietas Barau dan Lilin. Di Alahan Panjang tumbuh varietas Jintan dan Siamang. Sedangkan di Rangkiang Luluih ditemukan varietas Gandok dan Itam.

Di nagari Garabak ditanam varietas Induak ayam, Kapencong, Karambia, Mato harimau dan Tanjuang lolo. Di Sungai Abu terdapat varietas Lamak, Sirah barantai dan Samek. Sedangkan di Sungai Nanam penduduk lokal banyak menanam varietas Sawah dan Sawah barek.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline