Lihat ke Halaman Asli

Ironisme 50 Tahun Pembangunan: Membangun Banjir, Membangun Genangan

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh Suryadi

SAAT hujan turun mengguyur, banjir dan genangan air pun melanda JAKARTA. Hal serupa juga terjadi di daerah-daerah lain di Tanah Air. Fakta serupa ini, sebenarnya, terlacak terjadi sudah sejak dahulu kala. Setidaknya kala Belanda VOC menjajah memang sudah demikian. Yang membedakannya kalau dulu banjir dan genangan hanya terjadi pada beberapa titik yang bila dilihat dari kontur dan letaknya, memang sangat masuk akal.

SEJALAN bergeraknya waktu dan Indonesia mulai memasuki "kegilaan membangun" disertai basa-basi "pupur pembangunan bukanlah merusak", ternyata banjir makin meraksasa dan genangan air pun kian meluas ke mana-mana sampai ke lokasi yang tak maswuk akal. Pertanyaannya, apa sih BANJIR dan apa pula itu GENANGAN? Barangkali gampangnya, secara pasaran, mungkin begini yah (silakan dikoreksi): BANJIR yaitu, "bergeraknya limpahan air dalam volume yang lebih besar dari biasanya dari hulu ke hilir, dari tempat yang lebih tinggi menuju ke tempat-tempat yang lebih rendah." Nah, sedangkan GENANGAN yaitu, "air dalam jumlah tertentu berdiam dalam waktu tertentu di satu tempat tertentu pula."

MENYIMAK "batasan" tersebut, dapat dibayangkan apa yang bakal terjadi bila volume air yang bergerak dari hulu ke hilir dalam jumlah yang luar biasa besarnya? Tapi, adalah pasti bahwa banjir besar dan genangan meluas ke mana-mana di berbagai titik di Tanah Air dalam 30 - 50 tahun terakhir, bukanlah sesuatu yang normal-normal saja seperti pada masa kompeni Belanda menguasai Nusantara. Selain disebabkan oleh hal yang alami seperti turunnya hujan dan perubahan bersifat vegetatif, alam ini memang sudah banyak berubah dirusak oleh eksploitasi yang "over exkploitatif" oleh manusia dan perilaku keseharian manusia. Di antara semua itu ada yang menjadi faktor utama ada pula yang bersifat memperparah atau memicu.

MENGHADAPI kenyataan serupa itu, manusia berupaya mengatasi. Namun, upaya yang dilakukan itu terkesan tidak seimbang atau bahkan jauh tertingkal di belakang "kerusakan dan perusakan berlanjut" yang  terus-menerus dilakukan manusia. Katakanlah sangat parsial dan jauh dari keserempakan penanganan. Salah satu di antara upaya yang tampak, misalnyai Jakarta dengan pembangunan Kanal Banjir Timur dan Kanal Banjir Barat. Ironisme pembangunan, rutin kita temui di saat musim hujan datang seperti sekarang ini. Lihatlah Jakarta, sebagai contoh di depan mata. Membaca berita utama KOMPAS, Selasa, 10 Febr. 2015 berjudul "Banjir Jakarta tak Semata Faktor Alam" (halaman 1) dan membandingkannya dengan buku Dr. Restu Gunawan berjudul "Gagalnya Sistem Kanal; Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa", ironisme itu kian membuncah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline