Lihat ke Halaman Asli

Suryadi

Seorang pejuang komunikasi yang kuliah di prodi ilmu komunikasi, Universitas Respati Yogyakarta

Nia, Anak Buruh Tani yang Meraih Gelar S. Hut di Salah Satu Kampus Terbaik di Indonesia

Diperbarui: 18 Juli 2021   07:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Siang itu, dengan mengendarai sepeda motor bututnya, Nia bergegas pergi ke rumah temannya. Jam menunjukkan pukul 16.00 WIB ketika Nia keluar dari rumahnya. Jika bukan karena hal yang sangat penting, Nia tidak akan keluar rumahnya di siang bolong. “Saya termasuk malas ke luar rumah, mungkin bisa dibilang anak rumahan.”ucap nia sambil lalu menaiki sepedanya.

Sesampainya di rumah temannya, jam sudah menunjukkan pukul 16.30 WIB yang artinya tiga puluh menit lagi, pengumuman SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) akan keluar. Ya, Nia sedang mengikuti SNMPTN dengan jalur Bidikmisi (Biaya Pendidikan Mahasiswa Miskin berprestasi), sebab ia hanyalah seorang anak buruh tani di kampungnya. 

Sehingga, ia tidak mempunyai handphone canggih untuk mengecek pengumuman SNMPTN. Meskipun hanya anak buruh tani, Nia tetap semangat untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi dari pendidikan kedua orang tuanya. “Orang tua saya selalu berkata bahwa mereka akan melakukan apa saja supaya anak-anaknya tidak bernasib sama dengan mereka. 

Jadi kalau bisa pendidikannya pun harus melebihi pedidikan mereka,” ungkap Nia. Di sekolahnya, Nia dikenal sebagai siswi yang berprestasi dihadapan guru-gurunya, sehingga tidak tanggung-tanggung, ia mendaftar SNMPTN jalur Bidikmisi dengan mengambil jurusan Kehutanan di IPB (Institut Pertanian Bogor).

Waktu yang dinantikan pun tiba. Jam sedang menunjukkan tepat pukul 17.00 WIB. Nia dan temannya pun secara bergantian membuka laman resmi SNMPTN. Dengan keringat dingin yang mengucur dan jari-jari yang bergetar, Nia mulai memasukkan nomor pendaftarannya. Betapa haru dan bahagianya ia ketika tulisan “LULUS” berwarna merah tebal tercetak paling mencolok di laman SNMPTN tersebut.

Kebahagiaan Nia bertambah ketika temannya juga lulus dalam SNMPTN tersebut. Air mata haru tanpa terasa mengalir di pipi keduanya. Nia dan temannya hanyut dalam pelukan dan tangisan kebahagiaan itu.

Sehabis sholat maghrib, Nia berpamitan pulang pada temannya. Dalam perjalanan pulang, tiada henti Nia mengucap rasa syukur kepada Tuhannya sembari menangis terharu. Sesampainya di rumah, Nia langsung memeluk kedua orang tuanya dan menyampaikan bahwa ia baru saja resmi menjadi mahasiswa baru di kampus bergengsi itu. “Mak, Pak, saya lulus alhamdulillah,” teriak Nia. 

Sambil mengucap rasa syukur, ibu Nia mencium dan memeluk anak gadisnya itu.
Setelah pengumuman SNMPTN itu, Nia disibukkan dengan mengurus dan melengkapi berkas-berkas yang diperlukan sebelum berangkat ke kampusnya di Bogor. Selain itu, Nia juga mulai mencari info tentang siswa-siswa di kotanya yang juga lulus di kampus yang sama itu. Sebab, dengan mereka lah Nia akan berangkat ke Bogor.

Karena harus menunggu tahap-tahap seleksi yang lain, Nia punya sisa waktu yang cukup lama sebelum benar-benar berangkat ke kampusnya di Bogor. Untuk mengisi sisa waktunya tersebut, Nia suka membantu kedua orang tuanya di sawah milik seseorang yang digarap oleh kedua orang tuanya. Ketika ditanya apa yang dibantunya di sawah, Nia berkata, “Orang tua saya tidak pernah meminta tolong namun saya sendiri yang ingin membantu mereka. Ya kadang bantu memberi pupuk atau menyiram tembakau.”

Setelah beberapa minggu berlalu, akhirnya Nia dan teman-temannya yang satu kampus dengannya berangkat ke Bogor dengan naik bus. Kedua orang tua Nia hanya mampu mengantar ke terminal saja, sebab mereka tidak memiliki ongkos untuk mengantar anak kebanggaannya itu. Dengan rasa haru, bagga, sedih, dan pasrah yang bercampur aduk, kedua orang tua Nia pun melepas kepergiannya.

Selama berkuliah di kota orang dan jauh dari orang tua, kemandirian dan kedewasaan Nia semakin bertambah. Nia tidak pernah mengeluh kepada kedua orang tuanya, sebab ia tak ingin membuat kedua orang tuanya khawatir. Empat tahun berkuliah, Nia mengaku mati-matian belajar demi mempertahankan beasiswanya. Hingga pada waktu yang sangat tidak terlupakan itu datang, Nia merasa semua perjuangannya terbayar lunas. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline